Kamis, 14 Januari 2010

Makalah Kriminologi tentang PELAKU KEJAHATA

Kata Pengantar

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sebab rampungnya makalah kami yang berjudul “PELAKU KEJAHATAN”tepat pada waktunya tidak terlepas dari Rahmat dan Karunia-Nya.Kami juga mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memahami lebih dalam tentang mata kuliah Kriminologi.
Tentu saja demi kelengkapan materi dan kesempurnaan makalah ini,kami tetap mengharapkan masukan teman-teman atau tanggapannya baik dalam bentuk saran maupun kritikan adalah hal yang kami butuhkan dan kami akan sambut dengan senang hati agar makalah ini mencapai kesempurnaan.Atas perhatiannya yang lebih kepada makalah ini,kami ucapkan banyak TERIMAHKASIH.











BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan dari sejak Adam-Hawa kejahatan sudah tercipta, maka dari itulah kejahatan merupakan persoalan yang tak henti-hentinya untuk diperbincangkan oleh karena itu di mana ada manusia, pasti ada kejahatan “Crime is eternal-as eternal as society”. Masalah ini merupakan suatu masalah yang sangat menarik, baik sebelum maupun sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini. Maka pengertian kejahatan adalah relativ tak memilki batasRelativitas kejahatan dan aspek yang terkait di dalamnya tidaklah merupakan konsepsi hukum semata-mata, sekalipun memang legalitas penentuan kejahatan lebih nyata nampak dan dapat dipahami, akan tetapi aspek-aspek hukum diluar itu (extra legal) tidaklah mudah untuk ditafsirkan. karena kenisbian konsep kejahatan yang aneka macam seperti itu sering didengar didalam percakapan sehari-hari, kejahatan dalam artian hukum, sosiologi, dan kombinasi dari semuanya itu. Relativitas jelas akan berpengaruh terhadap penggalian faktor sebab musababnya yang pada gilirannya berpengruh terhadap metode penanggulangan kriminalitas pada umumnya.
Tentunya relativitas kejahatan memerlukan atau bergantung kepada ruang dan waktu, serta siapa yang menamakan seuatu itu adalah kejahatan.”Misdaad is benoming” yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. Meskipun kejahatan itu relatif, ada pula perbedannya antara “mala in se” dengan “mala in prohibita”.Mala in se adalah suatu perbuatan yang tanpa dirumuskan sebagai kejahatan sudah merupakan kejahatan. Sedangka Mala in prohibita, adalah suatu perbuatan manusia yang diklasifikasikan sebagai kejahatan apabila telah dirumuskan sebagai kejahatan dalam Undang-undang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perspektif kriminologi tentang pelaku kejahatan?
2. Apa faktor yang mempengaruhi orang melakukan kejahatan?






BAB II
PEMBAHASAN
Mengenai Paradigma Kriminologi, kita sebaiknya mencermati sejarahnya, dari Klasik hingga Kritis. Aliran klasik, mulai berkembang di Inggris pada akhir abad ke 19 dan kemudian meluas ke negara-negara lain di Eropa dan Amerika, dasar dari mazhab ini adalah hedonistic-psycology dan metodenya Arm- Chair (tulis menulis). Psikologi mejadi dasar aliran ini , sifatnya adalah individualistis, intelectualistis dan voluntaristis, aliran ini berpandangan adanya kebebasan kehendak sedemikain rupa, sehingga tidak ada kemungkinan untuk menyelidiki lebih lanjut sebab-sebab kejahatan atau usaha-usaha pencegahan kejahatan. Contoh yang sederhana adalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, sangat sederhana, namun pandangan ini berhasil menjadi tulang punggung hukum pidana dan merupakan doktrin yang berpengaruh hingga sekarang.
Menurut aliran ini orang yang melanggar undang-undang tertentu harus menerima hukuman yang sama tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya miskinnya, posisi sosial dan keadaan-keadan lain. Hukuman dijatuhkan harus berat, namun propossional, dan untuk memperbaiki, dan lain-lain. Meskipun aliran ini kurang mampu menjelaskan mengapa seseorang berperilaku jahat, namun hingga sekarang mencengkram kuat dan mempengaruhi terhadap pemberian makna penjahat. Penjahat adalah mereka yang dicap demikian oleh undang-undang, merupakan pengaruh nyata terhadap pola berfikir banyak ahli (hukum) di Indonesia.Aliran positivis muncul sebagai proses ketidak puasan dari jawaban-jawaban aliran klasik, aliran ini berusaha menjelaskan mengapa seseorang bisa bertindak jahat. Aliran ini bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik yang berupa faktor biologik maupun kultural. Ini berarti bahwa manusia bukan makhluk yang bebas untuk berbuat menuruti dorongan keinginannya dan intelegensinya, akan tetapi makhluk yang dibatasi atau ditentukan oleh perangkat biologiknya dan situasi kulturalnya. Lambroso, yang dianggap sebagai pelopor mazhab ini pada pertengahan abad ke 19 secara tegas mengetengahkan apa yang disebut Born Criminal (penjahat sejak lahir), bahwa penjahat sejak lahirnya merupakan tipe khusus, dengan kalsifikasi khusus misalnya pencuri, pembunuh atau penjahat-penjahat lainnya memiliki tanda atau ciri yang berbeda-beda, Aliran biologis yang dipeloporinya ini meskipun mendapat kritikan dari beberapa ahli kriminologi, namun sampai saat ini pengaruh dari Lombroso masih terasa, misalnya seseorang akan dicurigai apabila menampilakan ciri-ciri biologis berambut gondrong, berdahi lebar, seperti satau atau dua jumlah uyeng-uyeng di kepala bayi yang baru dilahirkan, dll. Kemudian muncul aliran yang memperluas dari individu (biologis) kepada kondisi-kondisi yang dapat menghasilkan penjahat. Kejahatan merupakan produk sistem sosial, yang menekankan pada struktur kesempatan yang berbeda atau diffrential opartunity structure, kemiskinan, rasisme dan lain-lain, sebagai faktor penyebab yang penting. Tercatat beberapa tokoh teori ini seperti Tarde, Lacasagne, WA Bonger dan Sutherland. Ketidak puasan terhadap aliran-aliran di atas kemudian menampilkan perspektif baru dalam melihat mengapa seseorang dapat menjadi jahat, sebagai hasilnya muncul apa yang disebut denagan perspektif aliran kriminologi baru yang memiliki pemikiran-pemikiran kritis dan radikal.
Munculnya aliran ini, tidak luput dari perkembangan atau konteks perubahan-perubahan sosial di Amerika Serikat sekitar tahun 1960, dan dibagian-bagian dunia setelah redanya perang dingin, muncul apa yang disebut dengan kriminologi kritis sampai radikal., bahwa pengungkapan terhadap kejahatan harus lebih kritis, selektif dan waspada. Wawasan kriminologi ini disebut kriminologi baru. Munculnya kriminologi baru ini salah satunya dan di mulai dengan munculnya teori Labbeling (labelling theory), dikemukakan Howard Becker yang mengatakan pada dasarnya kejahatan merupakan suatu proses dalam konteks, dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial. Perkembangan selanjutnya, perbuatan jahat (kejahatan) ditafsirkan sebagai hasil dari keadaan disorganisasi sosial dan kejahatan diakibatkan dari berbagai hal yang bersifat sosial seperti Industrialisasi, perubahan sosial yang cepat dan modernisasi. Kejahatan bukanlah kualitas perbuatan yang dilakukan oleh orang, melainkan sebagai akibat diterapkannya peraturan dan sanksi oleh orang-orang lain kepada seorang pelanggar. Oleh karena itu teori labelling ini telah merubah konteks studi kriminologi, yaitu dari penjahat kepada proses terjadinya kejahatan, meskipun istilah pertamanya teori ini muncul dalam bukunya Frank Tannenbaun, dan E.M Lemert, Disusul kemudian oleh teori-teori yang dikemukakan Austin Turk, Ralf Dahrendorf Chambliss dan Seidman, dengan teori Konflik,aliran ini disebut pula dengan aliran Kriminologi radikal. Bagi aliran-aliran kriminologi baru penyimpangan adalah normal, dalam pengertian manusia terlibat secara sadar dalam penjara-penjara yang sesungguhnya dan masyarakat yang juga merupakan penjara, dalam menyatakan kebhinekaan mereka. Tugas ahli kriminologi bukanlah sekedar mempermasalahkan stereotype atau bertindak sebagai pembawa-pembawa alternatif phenomenological realities, kewajiban ahli kriminologi adalah untuk menciptakan suatu masyarakat di mana kenyataan-kenyataan keragaman personal, organik dan sosial manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa.
Munculnya aliran baru kriminologi sebenarnya merupakan kritik terhadap perkembangan kriminologi itu sendiri, disaat kriminologi tradisional atau oleh Taylor disebut dengan istilah Orthodoks kriminologi, tidak mampu memuaskan jawaban-jawabn terutama terhadap mengapa mereka melakukan perbuatan-perbuatan jahat. Terlebih lagi studi yang dilakukan masih tradisional, fokus kejahatan hanyalah terhadap apa yang disebut dengan “kejahatan jalanan.” Terutama di Indonesia, hal ini telah menyita tenaga dari sistem peradilan pidana sehingga kejahatan-kejahatan dengan klasifikasi lain atau kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan menjadi tidak tersentuh, sehingga lahirnya aliran-lairan baru dalam kriminologi, apabila ditempatkan dalam konteks paradigma Thomas Kuhn, maka proses ini bisa disebut sebagai Lompatan Paradigmatik, bahwa Ilmu pengetahuan itu hidup karena revolusi bukan akumulasi. Menurut Mardjono,lahirnya Kriminologi yang non konvensional memberikan analisa berbeda, dilihat dari kacamata kriminologi yang non konvensional itu maka apa yang disjikan oleh kriminologi konvensional adalah menyesatkan, dengan dua hal yang menjadi sangat penting; bahwa angka kriminalitas yang tidak dilaporkan dan tidak tercatat cukup besar (the dark number of crime), dan ;di samping kejahatan jalanan masih terdapat kejahatan korporasi (Corporate crime) dan kejahatan-kerah putih/orang berdasi (White Collar Crime), yang jarang diketahui, dilaporkan dan dicatat.
Pada intinya aliran baru mengecam statistik kriminalitas yang tidak mampu memberikan data akurat, dan menjelaskan kejahatan secara faktual. Seorang kriminolog Indonesia yaitu Paul Moedikdo, memberikan komentar terhadap pandangan aliran-aliran kriminologi baru ini, menurutnya kadar kebenaran dan nilai praktis teori kritis dapat bertambah apabila hal itu dikembangkan dalam situasi kongkret demi kepentingan atau bersama-sama mereka yang diterbelakangkan, guna memperbaiki posisi hukum atau pengurangan keterbelakangan mereka dalam masyarakat. Akan tetapi bahaya praktek pengalaman yang terbatas adalah adanya penyempitan kesadaran dan diadakannya generalisasi terlalu jauh jangkauannya. Mereka sampai kepada perumusan-perumusan tentang kejahatan dan perilaku menyimpang yang tidak dapat dipertahankan oleh karena adanya generalisasi yang berlebihan bahwa delik-delik adalah pernyataan dari perlawanan sadar dan rasional terhadap masyarakat yang tidak adil yang hendak menyamaratakan orang menjadi objek-objek pengaturan oleh birokrasi ekonomi.
Ini kemudian dipertegas oleh Soedjono bahwa, dengan kata lain kriminologi baru melupakan sama sekali adanya street crime yang konvensional dan tradisional yang berkait dengan tatanan birokratis yang ada, maka dapat dikatakan catatan atau kritik terhadap kriminologi baru ini bahwa, perspektif baru memang diperlukan dalam meluruskan pandangan sempit dari kriminologi konvensional, namun rumusannya tentang kejahatan dan generalisasinya mengenai teori kejahatan dan perilaku menyimpang terlalu jauh, sehingga justru melahirkan pertentangan pendapat yang berkepanjangan dan dapat memecah belah para kriminologi ke dalam dua kubu. Paul Moedikdo juga memberikan komentarnya terhadap Ian Taylor dll, yaitu bahwa rumusan kewajiabn ahli kriminologi untuk berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana kenyataan-kenyataan kebhinekaan manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa adalah rumusan yang keliru. Bukan kekuasaan untuk mengkriminalisasi kajahatan yang harus dirumuskan atas dasar prinsip-prinsip egalitarian dan kooperatif, bukan berdasarkan hierarkhikal dan eksploitatif. Suatu kritik dilontarkan pula terhadap teori Labelling bahwa, teori ini bersifat deterministik dan menolak pertanggungjawaban individual, dan teori ini tidak berlaku untuk semua jenis kejahatan, bahkan meurut Hagan, teori labeling yang selalu berangapan bahwa setiap orang melakukan kejahatan dan nampak bahwa argumentasinya adalah cap, dilekatkan secara random. Kenyataannya bahwa hanya kejahatan yang sangat serius memperoleh reaksi masyarakat atau cap.
A. Klasifikasi Penjahat
Noach melihat krimanalitas dari dua sisi, yaitu
1. Sisi Perbuatannya
Dilihat dari sisi perbuatannya, kriminalitas dapat dikelompokkan lagi ke dalam dua kelompok yaitu:
a. Cara Perbuatan itu dilakukan, kelompok ini dapat dibagi menjadi:
 Perbuatan dilakukan dengan cara si korban mengetahui baik perbuatannya maupun pelakunya. Tidak menjadi masalah apakah si korban sadar bahwa itu adalah suatu tindak pidana atau bukan. Misalnya dalam hal penganiayaan, penghinaan, perampokan, penipuan, dan delik seksual. Di samping itu terdapat pula delik yang dilakukan sedemikian rupa sehingga si korban tidak mengetahui baik perbuatannya maupun maupun pelakunya pada saat perbuatan itu dilakukan seperti penggelapan, penadahan, pencurian, pemalsuan, dan peracunan
 Perbuatan dilakukan dengan menggunakan sarana seperti bahan kimia, perlengkapan, dan sebaginya atau tanpa sarana
 Perbuatan dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau dilakukan dengan “biasa”.
b. Benda hukum yang dikenai atau menjadi obyek delik misal kejahatan terhadap nyawa, kejahatan terhadap kekuasaan umum, dan lain sebagainya.
2. Sisi Pelakunya
Dilihat dari sisi pelakunya, dapat dibagi menurut motif si pelaku, mengapa melakukan kejahatan, dan dari sifat pelaku sendiri.,Lombroso mengklasifikasi penjahat sebagai berikut:
a. Penjahat pembawaan (born criminal), yaitu penjahat yang dilihat dari ciri-ciri tubuhnya (stigmata) karena atavisme (degenerasi) lalu menjadi jahat.
b. Penjahat karena sakit jiwa seperti idiot, imbesil, melankoli, epilepsi, histeri, dementia pellagra, dan pemabuk
c. Penjahat karena dorongan hati panas (passion) seperti membunuh istri simpanan suaminya
d. Penjahat karena kesempatan yang dapat dibagi menjadi:
 Penjahat bukan sebenarnya (pseudo criminal) yaitu mereka yang melakukan tindak pidana karena keadaan yang sangat melukai hati secara luar biasa dan mereka yang melakukan tindak pidana hanya karena tindakan teknis, tanpa menyangkut suatu nilai moral atau norma, misalnya pelanggaran lalu lintas, dsb.
 Penjahat karena kebiasaan, penjahat ini pada saat lahir normal, namun sejak masa kanak-kanak dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang jahat, akhirnya kebiasaan itu menjadi watak yang menyimpang dari anggota masyarakat normal.
e. Kriminoloid, merupakan peralihan antara penjahat pembawaan dan penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yang baru pada keadaan kurang baik yang ringan-ringan saja telah terlibat dalam tindak pidana
Dalam klasifikasinya, Lombroso menggunakan kriteria psikis, fisik, dan lingkungan.
Garfalo, membuat klasifikasi sebagai berikut:
 Pembunuh
 Penjahat agresif
 Penjahat karena kurang kejujuran, dan
 Penjahat karena dorongan hati panas atau karena ketamakan

Aschaffenburg membagi penjahat menjadi:
 Penjahat karena kebetulan, yaitu mereka yang melakukan tindak pidana karena culpa
 Penjahat karena pengaruh keadaan, yaitu mereka yang karena pengaruh tiba-tiba dengan segera berakibat dia melakukan kejahatan
 Penjahat karena kesempatan, yaitu mereka yang karena ada kesempatan terbuka secara kebetulan, lalu melakukan tindak pidana
 Penjahat kambuhan (residivis), yaitu mereka yang berulang-ulang melakukan kejahatan, baik kejahatan semacam maupun tidak
 Penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yang secara teratur melakukan kejahatan
 Penjahat professional, mereka yang secara teratur melakukan kejahatan secara aktif dan sikap hidupnya memang diarahkan kepada kejahatan
Abrahamsen membagi penjahat menjadi:
a. Penjahat sesat,
Penjahat karena situasi tertentu, kebetulan, dan karena pengaruh orang lain
b. Penjahat kronis
 Penjahat karena penyimpangan organis atau fungsional tubuh maupun jiwa
 Penjahat sesat yang kronis yaitu mereka sering kali terlibat dalam suatu situasi, kronis, karena pengaruh orang lain.
 Penjahat neurotik, dan mereka yang bertindak di bawah pengaruh dorongan di dalam dirinya
 Penjahat dengan watak neurotis, jika penjahat neurotik banyak dilihat dari tingkah lakunya, maka penjahat dengan watak neurotis dilihat dari watak kepribadiannya
 Penjahat dengan pertumbuhan nurani yang kurang baik (superego)
Gruhle membagi penjahat menjadi:
a. Penjahat karena kecenderungan (bukan bakat):
 Aktif: mereka yang mempunyai kehendak untuk berbuat jahat
 Pasif: mereka yang tidak merasa keberatan terhadap dilakukannya tindak pidana, tetapi tidak begitu kuat berkehendak sebagai kelompok yang aktif, delik bagi mereka ini merupakan jalan keluar yang mudah untuk mengatasi kesulitan.
b. Penjahat karena kelemahan
Mereka yang baik karena situasi sulit, keadaan darurat maupun keadaan yang cukup baik, melakukan kejahatan, bukan karena mereka berkemauan, melainkan karena tidak punya daya tahan dalam dirinya untuk tidak berbuat jahat.

c. Penjahat Karena hati panas
Mereka yang karena pengaruh sesuatu tidak dapat mengendalikan dirinya juga karena putus asa lalu berbuat jahat.
d. Penjahat karena keyakinan
Mereka yang menilai normanya sendiri lebih tinggi daripada norma yang berlaku di dalam masyarakat
Capeli membagi penjahat menurut faktor terjadinya kejahatan yaitu:
a. Karena faktor psikopatologik:
 Orang-orang yang kurang waras, gila
 Orang yang secara psikis tidak normal, tetapi tidak gila
b. Karena faktor organis:
 Orang-orang yang karena menderita gangguan fisik pada waktu telah cukup umur, seperti mereka yang menjadi tua, berbagai macam cacat
 Orang-orang yang menderita gangguan fisik sejak masa kanak-kanak atau sejak lahir, dan yang menderita kesulitan pendidikan atau sosialisasi.
c. Karena faktor sosial:
 Penjahat kebiasaan
 Penjahat karena kesempatan (karena keadaan/desakan ekonomi atau fisik)
 Penjahat yang pertama-tama melakukan kejahatan kecil-kecil, seringkali hanya secara kebetulan saja, selanjutnya meningkat ke arah kejahatan yang lebih serius
 Pengikut serta kejahatan kelompok, seperti pencurian di pabrik, lynch (pengeroyokan)
Seelig berpendapat bahwa kejahatan atau delik mungkin sebagai akibat dari watak si penjahat (disposisinya), atau karena peristiwa psikis saat terjadinya kejahatan. Pembagian penjahatnya menjadi tanpa dasar yang tunggal, dan Seelig dengan tegas melihatnya bahwa secara biologis (dalam arti ciri tubuh dan psikis) merupakan kelompok manusia yang heterogen dan tidak tampak memiliki ciri-ciri biologis. Dari pandangan itu, Seelig membagi penjahat menjadi:
a. Delinkuen professional karena malas bekerja
Mereka melakukan delik berulang-ulang, seperti orang melakukan pekerjaan secara normal. Kemalasan kerjanya mencolok, cara hidupnya sosial. Misal gelandangan, pelacur
b. Delinkuen terhadap harta benda karena daya tahan lemah
Mereka biasanya melakukan pekerjaan normal seperti orang kebanyakan. Namun di dalam kerjanya, ketika melihat ada harta benda, mereka tergoda untuk memilikinya, karena daya tahan yang lemah, mereka melakukan delik. Misal pencurian di tempat kerja, penggelapan oleh pegawai administrasi, dll
c. Delinkuen karena dorongan agresi
Mereka sangat mudah menjadi berang dan melakukan perbuatan agresif dengan ucapan maupun tulisan. Biasanya mereka ini menunjukkan kurangnya tenggang rasa dan perasaan sosial. Penggunaan minuman keras sering terjadi diantara mereka
d. Delinkuen karena tidak dapat menahan dorongan seksual
Mereka ini adalah yang tidak tahan terhadap dorongan seksual dan ingin memuaskan dorongan itu dengan segera, karena kurangnya daya tahan.
e. Delinkuen karena krisis
Mereka yang melihat bahwa tindak pidana adalah sebagai jalan keluar dalam krisis. Krisis ini meliputi:
 Perubahan badani, perubahan yang menimbulkan ketegangan seseorang (pubertas, klimaktorium, menjadi tua)
 Kejadian luar yang tidak menguntungkan, khususnya dalam lapangan ekonomi atau dalam lapangan percintaan
 Karena krisis diri sendiri.
f. Delinkuen karena reaksi primitive
Mereka yang berusaha melepaskan tekanan jiwanya dengan cara yang tidak disadari dan seringkali bertentangan dengan kepentingan dirinya sendiri atau bertentangan dengan kepentingan hukum pihak lain. Tekanan tersebut dapat terjadi sesaat atau terbentuk sedikit demi sedikit dan terakumulasi, dan pelepasannya pada umumnya tidak terduga
h. Delinkuen karena keyakinan
Seseorang melakukan tindak pidana karena merasa ada kewajjiban dan adanya keyakinan bahwa merekalah yang paling benar. Mereka menilai normanya sendiri lebih tinggi daripada norma kelompok lain. Hanya jika penilaian normanya ini terlalu kuat, maka barulah dikatakan delinkuen karena keyakinan.
g. Delinkuen karena tidak punya disiplin kemasyarakatan
Mereka yang tidak mau mengindahkan hal-hal yang oleh pembuat undang-undang diatur guna melindungi kepentingan umum.
B. Penyebab Kejahatan
Pada umumnya penyebab kejahatan terdapat tiga kelompok pendapat yaitu:
a. Pendapat bahwa kriminalitas itu disebabkan karena pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku
b. Pendapat bahwa kriminalitas merupakan akibat dari bakat jahat yang terdapat di dalam diri pelaku sendiri
c. Pendapat yang menggabungkan, bahwa kriminalitas itu disebabkan baik karena pengaruh di luar pelaku maupun karena sifat atau bakat si pelaku.
Bagi Bonger, bakat merupakan hal yang konstan atau tetap, dan lingkungan adalah faktor variabelnya dan karena itu juga dapat disebutkan sebagai penyebabnya bahwa ada hubungan langsung antara keadaan ekonomi dengan kriminalitas biasanya mendasarkan pada perbandingan statistik dalam penelitian. Selain keadaan ekonomi, penyebab di luar diri pelaku dapat pula berupa tingkat gaji dan upah, pengangguran, kondisi tempat tinggal bobrok, bahkan juga agama. Banyak penelitian yang sudah dialakukan untuk mengetahui pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku untuk melakuakn sebuah tindak pidana. Biasanya penelitian dilakukan dengan cara statistic yang disebut dengan ciminostatistical investigation.
Bagi para penganut aliran bahwa kriminalitas timbul sebagai akibat bakat si pelaku, mereka berpandangan bahwa kriminalitas adalah akibat dari bakat atau sifat dasar si pelaku. Bahkan beberapa orang menyatakan bahwa kriminalitas merupakan bentuk ekspresi dari bakat. Para penulis Jerman mengatakan bahwa bakt itu diwariskan. Pemelopor aliran ini, Lombroso, yang dikenal dengan aliran Italia, menyatakan sejak lahir penjahat sudah berbeda dengan manusia lainnya, khususnya jika dilihat dari ciri tubuhnya. Ciri bukan menjadi penyebab kejahatan melainkan merupakan predisposisi kriminalitas. Ajaran bahwa bakat ragawi merupakan penyebab kriminalitastelah banyak ditinggalkan orang, kemudian muncul pendapat bahwa kriminalitas itu merupakan akibat dari bakat psikis atau bakat psikis dan bakat ragawi.
Untuk mendapatkan bukti pengaruh pembawaan dalam kriminalitas, berbagai macam penelitian telah dilakukan dengan berbagai macam metode. Metode yang menarik antara lain:
a. Criminal family, penyelidikan dilakukan terhadap keluarga penjahat secara vertical dari satu keturunan ke keturunan yang lain
b. Statistical family, penyelidikan sejarah keluarga golongan besar penjahat secara horizontal untuk mendapatkan data tentang faktor pembawaan sebagai keseluruhan
c. Study of twins, penyelidikan terhadap orang kembar.
Setiap orang, sedikit atau banyak memiliki bakat kriminal, dan bilamana orang itu dalam lingkungan yang cukup kuat untuk berkembangnya bakat kriminal sedemikian rupa, maka orang itu pasti akan terlibat dalam kriminalitas. Hubungan antara pengaruh pembawaan dan lingkungan pada etiologi kriminal yang dikaitkan dengan penyakit-penyakit mental dengan diagram sebagai berikut: Lindesmith dan Dunham menyimpulkan bahwa kriminalitas dapat 100 persen sebagai akibat dari faktor kepribadian namun juga dapat 100 persen sebagai akibat faktor sosial, tetapi yang paling banyak adalah sebagai gabungan faktor pribadi dan faktor sosial yang bersama-sama berjumlah 100 persen.

Seelig membagi hubungan bakat-lingkungan-kejahatan sebagai berikut:
a. Sementara orang, oleh karena bakatnya, dengan pengaruh lingkungan yang cukupan saja telah melakukan deik
b. Lebih banyak orang yang karena bakatnya, dengan pengaruh lingkungan yang kuat, melakukan delik
c. Sangat sedikit orang karena pengaruh dari luar yang cukupan saja, melakukan delik
d. Sebagian besar orang lebih dari 50 persen, dengan bakatnya, walaupun berada di dalam lingkungan yang kurang baik dan cukup kuat, tidak ,menjadi kriminal.
Sauer berpendapat bahwa pertentangan bakat-lingkungan itu terlalu dilebih-lebihkan, dan bahwa baik bakat, lingkungan atau keduanya bersama-samadapat menjadi penyebab kriminalitas sudahlah cukup. Selanjutnya ia mengatakan bahwa setiap pelaku berdasarkan bakat sebagai sumber biologis dan sedikit atau banyak dipengaruhi oleh kekuatan dari luar yang berasal dari alam maupun masyarakat, dan baik itu merupakan syarat ataupun merupakan gejala yang mengiringinya, pelaku itu melakukan perbuatan kriminalnya. Sebagai faktor ketiga, Sauer masih menyebutkan pula kehendak.
Noach mengatakan kriminalitas yang terjadi pada orang normal merupakan akibat dari bakat dan lingkungan, yang pada suatu ketika hanya salah satu faktor saja, pada waktu yang lain faktor yang lainnya dan yang kedua-duanya mungkin saling berpengaruh.
Sutherland mengawali penjelasannya tentang teori sosiologis dengan menunjukkan dua prosedur yang penting yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan teori sebab musabab perilaku kriminal. Yang pertama adalah abstraksi logis, penelitiannya menunjukkan bahwa perilaku kriminal itu sedikt berkaitan dengan patologi sosial dan patologi pribadi. Dan yang kedua diferensiasi tingkat analisis yang artinya dalam menganalisis penyebab kejahatan haruslah diketahui pada tingkat tertentu yang mana.
Untuk menjelaskan perilaku kriminal secara ilmiah dapat dilakukan dalam hubungan dengan :
a. Proses yang terjadi pada waktu kejahatan itu (Mekanistis, situasional, atau dinamis)
b. Proses yang terjadi sebelum kejahatan berlangsung (Historis atau Genetik)
Proses seseorang terlibat dalam perilaku kriminal adalah sebagai berikut:
 Perilaku kriminal itu dipelajari
 Perilaku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain di dalam proses komunikasi
 Inti dari mempelajari perilaku kriminal terjadi di dalam kelompok pribadi yang intim
 Dalam mempelajari perilaku kriminal, yang dipelajari meliputi:
•Teknik melakukan kejahatan
•Arah khusus dari motif, dorongan, rasionalisasi, dan sikap
 Arah kasus dari motif dan dorongan dipelajari dari batasan-batasan hukum
Seseorang menjadi delinkuen karena sikap yang cenderung untuk melanggar hukum melebihi sikap yang merasa tidak menguntungkan bila melanggar hukum pengaruh kelompok terhadap individu, maka dapatlah dipikirkan:
a. Seorang individu mendapat pengaruh hanya dari satu macam kelompok;
b. Seorang individu mendapat pengaruh dari dua kelompok atau
c. Differential association mungkin bervariasi dalam hal frequensi, lamanya, prioritasnya, dan intensitasnya
d. Proses belajar perilaku kriminal melalui asosiasi dengan pola kriminal dan anti-kriminal semua mekanisme atau cara belajar pada hal-hal yang lain
e. Perilaku merupakan ungkapan kebutuhan dan nilai, tetapi hal ini tidak dipakai untuk alasan, karena perilaku non-kriminal pun juga merupakan ungkapan kebutuhan dan nilai.
Mengenai pengaruh individu dan kelompok, bila meninjau kemungkinan lebih.
THORSTEN SELLIN berpendapat bahwa konflik antar norma dari tatanan budaya yang berbeda mungkin terjadi karena:
a. Tatanan ini berbenturan di daerah budaya yang berbatasan;
b. Dalam hal norma hkum, hukum dari suatu kelompok tertentu meluas dan menguasai wilayah kelompok budaya yang lain;
c. Anggota dari kelompok budaya pindah ke kelompok budaya yang lain.
Kecenderungan dalam teori sosiologi untuk memberikan nama kepada struktur sosial yang berfungsi (secara salah) pada dorongan biologis manusia yang tidak dibatasi oleh kontrol sosial. Sikap koformis implikasinya adalah sebagai akibat dari pemikiran dan perhitungan akan kebutuhan atau karena alasan yang tidak diketahui. Tokohnya adalah MERTON yang mencoba mencari bagaimana struktur sosial menerapkan tekanan terhadap orang-orang di dalam masyarakat dan bersifat non-konformis dan bukannya konformis. Diantara unsur-unsur sosial dan struktur sosial terdapat dua hal yang penting, yaitu: Pertama, adalah tujuan, maksud dan kepentingan budaya yang telah bersama-sama ditentukan. Hal ini meliputi aspirasi budaya, yang oleh MERTON disebut “pola hidup berkelompok” (designs for group living). Kedua, struktur sosial itu menetapkan mengatur dan mengendalikan cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Kesesuaian atau koordinasi antara “tujuan” dan “cara” sangatlah perlu di dalam struktur sosial, sebab tanpa adanya kesesuaian, keseimbangan, atau koordinasi antara dua hal tersebut akan mengarah kepada “anomie” yaitu situasi tanpa norma dalam struktur sosial tang disebabkan karena adanya jurang perbedaan antara aspirasi dalam bidang ekonomi yang telah melembaga dalam masyarakat dengan kesempatan yang diberikan oleh struktur sosial tersebut untuk mencapainya. Dr. J.E. Sahetapy membagi teori-teori sosiologik mengenai kriminal berdasarkan penekanan pada:
a. Aspek konflik kebudayaan (Culture conflict) yang terdapat dalam sistem sosial
b. Aspek disorganisasi sosial
c. Aspek ketiadaan norma
d. Aspek sub-budaya (Sub-Culture) yang terdapat di dalam kebudayaan induk (dominan culture)
C. Hubungan Kriminalitas dengan Berbagai Gejala
A. Kriminalitas dan Jenis Kelamin
Angka statistik menunjukkan bahwa jumlah wanita yang dijatuhi pidana lebih rendah daripada pria. Angka statistik ini menunjuk pada perbuatan delik secara umum. Namun bila perbuatan delik sudah dikhususkanm kemungkinan angka statistik perbandingan pelaku delik wanita dengan pria akan bertambah porsi bagi wanitanya. Misalnya saja dalam delik abortus.
Telah banyak penjelasan mengenai kenyataan ini dan dapat dikelompokkan dalam tiga kategori antara lain:
Sebenarnya kriminalitas yang dilakukan oleh wanita jauh lebih tinggi dari angka yang ada
Hal tersebut dikarenakan masih banyaknya dark number yaitu anka kejahatan yang tidak dicatat karena sesuatu hal. Contohnya dalam kasus abortus, kasus ini kebanyakan akan ditutup-tutupi dan disembunyikan baik oleh korban maupun keluarganya. Selain hal tersebut, kaum pria cenderung memiliki sifat gentleman yaitu berusaha melindungi wanita. Ketika terdapat wanita yang melakukan kejahatan, pria merasa perlu melindunginya.
Kondisi lingkungan bagi wanita ditinjau dari segi kriminologi lebih menguntungkan daripada kondisi bagi pria
a. Faktor lingkungan lebih menguntungkan wanita karena
Perkawinan bagi wanita merupakan faktor anti irininogen, angka statistic menunjukkan bahwa angka kriminalitas tertinggi oleh wanita dilakukan oleh wanita yang bercerai
Jika dibandingkan dengan pria, partisipasi wanita lebih sedikit dalam kegiatan masyarakat sehingga dapat mengurangi konflik yang dapat mengarah pada kriminalitas.
b. Sifat wanita sendiri membawa pengaruh rendahnya kriminalitas
Faktor fisik wanita yang lemah kurang cocok untuk delik-delik agresi
Faktor psikis wanita mempunyai variasi yang lebih sempit, jadi sifat ekstrem baik maupun buruk jarang terjadi pada wanita
B. Kriminalitas dan Cacat Tubuh
Cacat tubuh dibedakan antara yang diderita sejak kelahirannya dan yang diperoleh dalam perjalanan hidupnya. Cacat tubuh yang memungkinkan menjadi faktor kriminogen antara lain:
 Wajah
 Tuli
 Buta
C. Keluarga dan Hubungan Keluarga
Pengaruh keluarga muncul pada:
 Situasi Keluarga
Pada keluarga yang berantakan dan pecah, berpotensi untuk menimbulkan kejahatan
 Besarnya Keluarga
Semakin besar keluarga, semakin tinggi beban ekonominya. Anak kurang mendapatkan perhatian dari orang tua, kenakalan tidak diperhatikan orang tua, Kemungkinan konflik dengan lingkungan lebih besar
 Anak tunggal
Anak tunggal kebanyakan dimanjakan dan diperlakukan over protective
Tidak adanya saudara menyulitkan anak untuk menyesuaikan diri sebagai anggota suatu kelompok
D. Kriminalitas dan Umur
Di masa anak-anak, statistic kriminalitas tidak dapat diikuti dengan tegas, karena banyak kejahatan yang dilakukan oleh anak tidak dipidana namun hanya diberitahukan kepada orang tua. Jenisnya bisanya berupa pencurian sederhana, perusakan barang, atau pencurian karena disuruh oleh orang lain. Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Di masa ini frekensi kejahatan tinggi terjadi konflik antara harapan dan kenyataan. Macam kejahatannya dapat berawal dari pencurian biasa sampai dengan pencurian dengan kekerasan. Awal masa dewasa adalah lanjutan dari masa remaja. Frekuensi kriminalitas masih tetap tinggi walaupun sedikit lebih rendah jika dibandingkan pada masa remaja.Macam kriminalitas berupa pencurian yang lebih canggih, penggelapan, dan seksualitas
Pada Masa Dewasa Penuh kejahatan yang dilakukan cenderung pada yang lebih menggunakan akal dan pikiran dari pada kekuatan fisik. Frekuensinya menurun namun kualitasnya meningkat. Macam kriminalitasnya banyak ditujukan pada kekayaan seperti penggelapan, pemalsuan, dan penipuan.
Pada masa usia lanjut, kekuatan fisik maupun psikis sudah mulai menurun. Produktivitas juga menurun. Karena penghasilan menurun, dorongan untuk melakukan delik terhadap kekayaan ada kecenderungan meningkatnamun dengan cara anak-anak.
e. Residivis
Kebanyakan resedivis melakukan kejahatan pada waktu masih muda. Lebih dari 50% residivis pernah melakukan kejahatan pertama kali pada usia muda. Mereka yang baru mulai menjadi kriminal pada usia dewasa, kemungkinan melakukan residivis lebih kecil karena waktu untuk melakukan residivis relative pendek, pola watak pada masa dewasa telah mantap, kriminalitas yang dilakukan dan diketahui orang tidak jarang hanya merupakan masalah kondisi yang kebetulan dan bukannya kondisi yang berulang.
f. Keadaan Ekonomi, Lapangan Kerja, dan Rekreasi
Kemelaratan miningkatkan kejahatan. Bahkan kemelaratanlah yang menyebabkan kejahatan. Kemunduran kemakmuran baik secara individu maupun pada kelompok dapat meningkatkan tingkat kriminalitas. Kemelaratan sebenarnya bukanlah satu-satunya faktor yang menimbulkan konflik dan faktor kriminogen. Ketika sebuah masyarakat terisolasi yang penghidupannya menurut masyarakat lain dianggap rendah, akan dapat tetap hidup tenang jika norma dalam masyarakat tersebut tidak berubah dan tidak ada kesenjangan diantara mereka. Jurang perbedaan dalam hal keadaan ekonomi dapat menjadi faktor kriminogen. Yang menjadi perhatian kriminologi dalam lapangan pekerjaan antara lain seperti faktor pemilihan lapangan kerja yang biasanya dipengaruhi oleh lingkungan, norma di lapangan kerja terutama dalam pekerjaan yang pekerjanya saling berhubungan dalam waktu yang lama dapat menimbulkan sebuah norma kerja sendiri. Jika norma lapangan kerja menyimpang, contohnya di sebua pabrik sudah biasa pekerjanya mengambil hasil produksinya, padahal di pabrik yang lain tidak, hal tersebut akan menjadi kebiasaan, dan kesempatan yang terdapat dalam lapangan pekerjaan yang dapat berupa ketrampilan yang digunakan untuk kejahatan dan lingkungan lapangan pekerjaan yang mendukung seseorang untuk melakukan tindak pidana. Rekreasi dapat menjadi faktor kriminogen dan anti-kriminogen. Melalui rekreasi akan diperoleh rasa puas dan lepas dari ketegangan. Perasaan yang demikian akan mengurangi kriminalitas. Sedangkan di sisi yang lain rekreasi merupakan pengeluaran. Bisa jadi pendapatan tidak dapat mengejar rekreasi yang diinginkan. Bentuk rekreasi dapat pula mengarah pada kriminalitas seperti berburu, dan permainan ketrampilan yang mengarah pada perjudian.
D. Kriminalitas sebagai Profesi dan Kebiasaan
Batasan antara penjahat professional dan yang sebagai kebiasaan menurut Noach adalah: “Penjahat professional memang pekerjaannya atau mata pencahariannya sebagai penjahat, sedangkan penjahat sebagai kebiasaan, kecuali melakukan kejahatan juga mempunyai pekerjaan lain. Apakah menjadi tumpuan penghidupannya itu pekerjaan dari kejahatan atau pekerjaan yang lain yang halal bukan masalah”
Sutherland menunjukkan sifat-sifat khusus dari penjahat professional antara lain sebagai berikut: “Secara teratur tiap hari menyiapkan dan melakukan kejahatan. Untuk itu, penjahat tersebut memerlukan kemampuan teknik guna melakukan kejahatannya dan melatih diri serta mengembangkan kemampuannya itu.
Pencuri professional dapat melakukan kejahatannya dengan aman karena tiga hal yaitu:
a. Memilih cara yang paling minimum bahayanya
b. Pencuri meningkatkan ketrampilan dan kemampuannya baik secara fisik maupun psikisnya
c. Dengan cara mengatur “fix” (pemulihan) sekiranya ia tertangkap, teknik pemulihan itu juga sedemikian rupa, baik dilakukan oleh si pencuri sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak jarang polisi, jaksa, bahkan hakim dilibatkan.
Selain kejahatan secara umum, ada pula kejahatan yang terorganisasi (organized crime). Organisasi kecil-kecilan seperti di kalangan pencopet membuat normanya sendiri, dengan sanksinya yang cukup tegas dan kadang daerah operasinyapun telah dibagi. Organisasi tersebut disebut dengan organisasi informalTerdapat pula organisasi penjahat yang bersifat lebih formal. Cirinya adalah yang pertama adanya pembagian pekerjaan, yaitu semacam spesialisasi tertentu yang berada dalam jaringan sistem, kedua bahwa kegiatan masing-masing di dalam sistem tersebut dikoordinasikan dengan kegiatan lain melalui aturan permainan, persetujuan dan saling pengertian, dan yang ketiga, seluruh kegiatan tersebut secara rasional diarahkan pada suatu tujuan yang sama-sama diketahui oleh para anggotanya. Prostitusu juga dapat dikategorikan ke dalam kejahatan professional walaupun kata kejahatan kurang tepat jika disematkan pada prostitusi karena jika dilihat dalam KUHP tidak ada pasal yang mengancam prostitusi kecuali perbuatan yang memudahkan prostitusi.
Menurut Norwood East pengertian prostitusi adalah hubungan seksual yang tanpa pilih-pilih atas dasar bayaran. Yang paling banyak terjun dalam dunia prostitusi adalah kaum wanita walaupun tidak menutup kemungkinan pula prostitusi dilakukan oleh kaum laki-laki. Menurut Glover wanita yang cenderung untuk melakukan tindakan prostitusi adalah mereka yang mengalami gangguan psikologis maupun seksual, dan merupakan akibat dari kurangnya kasih sayang dan perhatian pada masa kanak-kanak. Motivasi wanita untuk terjun dalam dunia prostitusi utamanya adalah kebutuhan ekonomi dan keinginan untuk mendapatkan kebutuhan lainnya disamping kebutuhan pokok sehari-hari. Tidak jarang mereka yang terjun dalam lembah hitam karena bujukan keluarga atau kenalannya yang sudah terlebih dahulu berada di dalam dunia prostitusi.








BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Relativitas Kejahatan, sosiologi berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Analisis terhadap kondisi-kondisi dan proses-proses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama yang terdapat hubungan antara variasi kejahatan dengan variasi organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi, maka angka-angka kejahatan dalam masyarakat, golongan-golongan masyarakat dan kelompok-kelompok sosial mempunyai hubungan dengan kondisi-kondisi dari proses-proses misalnya gerak sosial, persaingan dan penentangan kebudayaan, ideologi, politik, agama, ekonomi. Dengan cara inilah sosiologi memandang arti sebuah kejahatan.

Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan dari sejak Adam-Hawa kejahatan sudah tercipta, maka dari itulah kejahatan merupakan persoalan yang tak henti-hentinya untuk diperbincangkan oleh karena itu di mana ada manusia, pasti ada kejahatan “Crime is eternal-as eternal as society”. Masalah ini merupakan suatu masalah yang sangat menarik, baik sebelum maupun sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini. Maka pengertian kejahatan adalah relativ tak memilki batasRelativitas kejahatan dan aspek yang terkait di dalamnya tidaklah merupakan konsepsi hukum semata-mata, sekalipun memang legalitas penentuan kejahatan lebih nyata nampak dan dapat dipahami, akan tetapi aspek-aspek hukum diluar itu (extra legal) tidaklah mudah untuk ditafsirkan. karena kenisbian konsep kejahatan yang aneka macam seperti itu sering didengar didalam percakapan sehari-hari, kejahatan dalam artian hukum, sosiologi, dan kombinasi dari semuanya itu. Relativitas jelas akan berpengaruh terhadap penggalian faktor sebab musababnya yang pada gilirannya berpengruh terhadap metode penanggulangan kriminalitas pada umumnya.

Tentunya relativitas kejahatan memerlukan atau bergantung kepada ruang dan waktu, serta siapa yang menamakan seuatu itu adalah kejahatan.”Misdaad is benoming” yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. Meskipun kejahatan itu relatif, ada pula perbedannya antara “mala in se” dengan “mala in prohibita”.Mala in se adalah suatu perbuatan yang tanpa dirumuskan sebagai kejahatan sudah merupakan kejahatan. Sedangka Mala in prohibita, adalah suatu perbuatan manusia yang diklasifikasikan sebagai kejahatan apabila telah dirumuskan sebagai kejahatan dalam Undang-undang. Siapakah sebenarnya penjahat itu. Apakah cukup mereka yang dinyatakan melakukan perbuatan yang dilarang dan diberi sanksi hukum yang tercantum dalam pasal undang-undang disebut sebagai penjahat? Dalam KUH-Pidana (kita) tidak ada satu pasal pun yang mengatakan bahwa penjahat adalah...,dan KUH-Pidana kita tidak menyebutkan siapakah orangnya yang menyandang gelar penjahat. Akan tetapi mereka hanya dicap sebagai penjahat dengan sebutan “barang siapa” (Yesmil Anwar.), tentunya penjahat itu merupakan label atau stigma dari undang-undang.

B. Saran dan Kritik
Kami sekelompok menyadari bahwa makalah yang kami buat ini jauh dari kata sempurna,oleh karena itu saran dan kritik dari para pembaca memungkinkan agar makalah kami dapat lebih sempurna.

Rabu, 13 Januari 2010

SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA INDONESIA
Menurut UUD 1945,bahwa sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan atau separation of power (Trias Politica) murni sebagaimana yang diajarkan Montesquieu, akan tetapi menganut sistem pembagian kekuasaan (Distribution of power).Hal-hal yang mendukung argumentasi tersebut, karena Undang-Undang Dasar 1945:
a. Tidak membatasi secara tajam, bahwa tiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh suatu organisasi/badan tertentu yang tidak boleh saling campur tangan.
b. Tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas 3 bagian saja dan juga tidak membatasi kekuasaan dilakukan oleh 3 organ saja
c. Tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan MPR, pasal 1 ayat 2, kepada lembaga-lembaga negara lainnya.
A. Pokok-pokok Sistem Pemerintahan Republik Indonesia
1) Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi. Provinsi tersebut adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Bali, Banten, Bengkulu, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Gorontalo, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Lampung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Sumatra Selatan.
2) Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan adalah presidensial.
3) Pemegang kekuasaan eksekutif adalah Presiden yang merangkap sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden dan wakilnya dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan 5 tahun. Namun pada pemilu tahun 2004, Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket untuk masa jabatan 2004 – 2009.
4) Kabinet atau menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, serta bertanggung jawab kepada presiden
5) Parlemen terdiri atas 2 bagian (bikameral), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota DPR dan DPD merupakan anggota MPR. DPR terdiri atas para wakil rakyat yang dipilih melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Anggota DPD adalah para wakil dari masing-masing provinsi yang berjumlah 4 orang dari tiap provinsi. Anggota DPD dipilih oleh rakyat melalui pemilu dengan sistem distrik perwakilan banyak. Selain lembaga DPR dan DPD, terdapat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang anggotanya juga dipilih melaui pemilu. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.
6) Kekuasaan Yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, yaitu pengadilan tinggi dan pengadilan negeri serta sebuah Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial
7) Sistem pemerintahan negara Indonesia setelah amandemen UUD 1945, masih tetap menganut Sistem Pemerintahan Presidensial, karena Presiden tetap sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden juga berada di luar pengawasan langsung DPR dan tidak bertanggung jawab pada parlemen. Namun sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial.
B. Beberapa variasi dari Sistem Pemerintahan Presidensial RI
1) Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung.
2) Presiden dalam mengangkat pejabat negara perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR. Contohnya dalam pengangkatan Duta untuk negara asing, Gubernur Bank Indonesia, Panglima TNI dan kepala kepolisian.
3) Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR. Contohnya pembuatan perjanjian internasional, pemberian gelar, tanda jasa, tanda kehormatan, pemberian amnesti dan abolisi
4) Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran).
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, dapat difahami bahwa dalam perkembangan sistem pemerintahan presidensial di negara Indonesia(terutama setelah amandemen UUD 1945) terdapat perubahan-perubahan sesuai dengan dinamika politik bangsa Indonesia.Hal itu diperuntukkan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut antara lain, adanya pemilihan presiden langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance dan pemberian kekuasaan yang lebih besar pada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran
Secara umum dengan dilaksanakannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada era reformasi, telah banyak membawa perubahan yang mendasar baik terhadap ketatanegaraan (kedudukan lembaga-lembaga negara), sistem politik, hukum, hak asasi manusia, pertahanan keamanan dan sebagainya. Berikut ini dapat dilihat perbandingan model sistem pemerintahan negara republik Indonesia sebelum dan setelah dilaksanakan amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
C.Masa Orde Baru (Sebelum amandemen UUD 1945)
Di dalam Penjelasan UUD 1945, dicantumkan pokok-pokok Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagai berikut;
a. Indonesia adalah negara hukum (rechtssaat)
Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekua-saan belaka (machtsaat). Ini mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain, dalam melaksanakan tugasnya/ tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hokum.
b. Sistem Konstitusional
Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Sistem ini memberikan ketegasan cara pengendalian pemerintahan negara yang dibatasi oleh ketentuan konstitusi, dengan sendirinya juga ketentuan dalam hukum lain yang merupakan produk konstitusional, seperti Ketetapan-Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan sebagainya.


c. Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia Tugas Majelis adalah:
1) Menetapkan Undang-Undang Dasar,
2) Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara,
3) Mengangkat kepala negara (Presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden).
Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Presiden adalah “Mandataris” dari Majelis yang berkewajiban menjalankan ketetapan-ketetapan Majelis.
d. Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD.
Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung jawab penuh ada di tangan Presiden. Hal itu karena Presiden bukan saja dilantik oleh Majelis, tetapi juga dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang berupa Garis-garis Besar Haluan Negara(GBHN) ataupun ketetapan MPR lainnya
e. Presiden tidak bertanggungjawab ke-pada Dewan Perwakilan Rakyat.
Kedudukan Presiden dengan DPR adalah neben atau sejajar. Dalam hal pembentukan undang-undang dan menetapkan APBN, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama dengan DPR. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari Dewan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR seperti dalam kabinet parlementer, dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden
f. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden memilih,mengangkat dan memberhentikan mentri-mentri negara.Menteri- mentri itu tidak bertanggungjawab kapada DPR dan kedudukannya tidak tergantung dari Dewan., tetapi tergantung pada Presiden,Menteri-menteri merupakan pembantu presiden.


g. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi bukan berarti ia “Diktator” atau tidak terbatas. Presiden, selain harus bertanggung jawab kepada MPR, juga harus memperhatikan sungguh-sungguh suara-suara dari DPR karena DPR berhak mengadakan pengawasan terhadap Presiden (DPR adalah anggota MPR). DPR juga mempunyai wewenang mengajukan usul kepada MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden, apabila dianggap sungguh-sungguh melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tarcela.
D.Masa Reformasi (Setelah Amandemen UUD 1945)
Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal. Tentang sistem pemerintahan negara republik Indonesia dapat dilihat di dalam pasal-pasal sebagai berikut :
a. Negara Indonesia adalah negara Hukum.
Tercantum di dalam Pasal 1 ayat (3), tanpa ada penjelasan
b. Sistem Konstitusional
Secara eksplisit tidak tertulis, namun secara substantif dapat dilihat pada pasal-pasal sebagai berikut :
- Pasal 2 ayat (1)
- Pasal 3 ayat (3)
- Pasal 4 ayat (1)
- Pasal 5 ayat (1) dan (2)
- Dan lain-lain
c. Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).MPR berdasarkan Pasal 3, mempunyai wewenang dan tugas sebagai berikut :
- Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
- Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
- Dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD
d. Presiden ialah penyelenggara peme-rintah Negara yang tertinggi menurut UUD.
Masih relevan dengan jiwa Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2).
e. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan memperhatikan pasal-pasal tentang kekuasaan pemerintahan negara (Presiden) dari Pasal 4 s.d. 16, dan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19 s.d. 22B), maka ketentuan bahwa Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR masih relevan. Sistem pemerintahan negara republik Indonesia masih tetap menerapkan sistem presidensial
f. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak ber-tanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden yang pembentukan, pengubahan dan pembubarannya diatur dalam (undang-undang Pasal 17)
g. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Presiden sebagai kepala negara, kekua-saannya dibatasi oleh undang-undang. MPR berwenang memberhentikan Presiden dalam masa jabatanya (Pasal 3 ayat 3). Demikian juga DPR, selain mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat, juga hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas (Pasal 20 A ayat 2 dan 3).

contoh surat gugatan

SURAT GUGATAN
Makassar 4 Desember 2009
Kepada Yth.
Bapak Ketua Pengadilan Negeri Makassar
Jln. Kartini No.10
Di
Makassar, SULAWESI SELATAN
No. 8845/FS/V/2009
Perihal : Gugatan Ganti Rugi
Identitas PENGGUGAT:
Dengan hormat,Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama: Rudini TH Silaban
Umur: 45 Tahun
Kewarganegaraan: Indonesia
Agama: Islam
Pekerjaan: Pegawai Negeri sipil
Status perkawinan: Menikah
Tempat tinggal: Jln.Pontiku No.21 Makassar
Dan selanjutnya di sebut sebagai PENGGUGAT.
———————————————————————-
Melawan
———————————————————————-
TERGUGAT:
KEPALA BPN
Tempat tinggal/alamat kantor: Jln. Urip Sumoharjdo No.4 Makassar
Kepala Perseroan Dagang Loan & Co
Tempat tinggal/alamat kantor: Jln. Kimah VIII No.7 Makassar
Turut Tergugat:
Kepala PT Pertamija
Tempat tinggal/alamat kantor: Jln. Pertanian I No.22 Makassar
Departemen Keuangan RI
Dengan ini mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum dan mohon sita jaminan terhadap :
1. BADAN PERTANAHAN NASIONAL Cq. KAKANWIL BADAN PERTANAHAN NASIONAL SULAWESI SELATAN Cq. KEPALA KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL MAKASSAR, berkedudukan di Jalan Urip Sumoharjdo No.4 Makassar, selanjutnya disebut TERGUGAT I;
2. Perseroan Dagang LOAN & CO, berkedudukan di Jln.Kimah VIII No.7 Makassar, selanjutnya disebut TERGUGAT II Serta

3. PT PERTAMIJA : berkedudukan di Jalan Pertanian I No.22 Makassar, selanjutnya disebut sebagai TURUT TERGUGAT I
4. PEMERINTAH RI qq. DEPARTEMEN KEUANGAN RI, berkedudukan di Jalan Merdeka Barat Kav 2 Jakarta Pusat, selanjutnya disebut TURUT TERGUGAT II
DASAR GUGATAN/PETENDI
Adapun alasan-alasan dan keadaan hukum yang menjadi DASAR GUGATAN ini adalah sebagai berikut:
Bahwa Penggugat adalah ahli waris dari Nyonya Oewij Wijen Silaban berdasarkan Surat Wasiat atas nama Nyonya Oewij Wijen Silaban yang secara sah terbuka pada tanggal 5 Desember 2000 (vide Salinan Akta Penetapan dan Pembagian Warisan Nomor: 116/APW/1992/PA.SR tanggal 5-12-2000).
Bahwa Harta Warisan Alm. Nyonya Oewij Wijen Silaban salah satunya ialah sebuah Tanah adat Petuk C 176 Persil 4 b Blok D III Kecamatan Jebres, Makassar atas tanah seluas ± 15.000 meter² berdasarkan Petuk Nomor 567, yang kini dimiliki secara sah oleh Para Penggugat berdasarkan Pasal 584 Kitab Undang-undang Hukum Perdata:
“Hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain dengan pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, dengan kedaluwarsa, dengan pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dan dengan penunjukan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik, yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat terhadap barang itu.”
Bahwa secara de facto dan yuridis tanggal 16 Juni 1950 terbentuk Pemerintah Daerah Kota Makassar yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor 16/SD.
Bahwa pada tanggal 14 Januari 1950 Nyonya Oewij Wijen Silaban mendapatkan Petuk Nomor 567 dari Kepala Desa Sewu, Kecamatan Rappocini, Makassar, H. Wahyuno Tresnojoyo atas pembayaran pajak tanah Petuk C 176 Persil 4 b Blok D III Kecamatan Rappocini, Makassar seluas ± 15.000 meter² yang selama ini dimilikinya dengan batas-batas sebagai berikut:
Utara : Tanah milik Aling
Selatan : Jalan Raya Hertasning Baru
Barat : Tanah milik Ko Asiong
Timur : Tanah berupa Sawah milik Nyonya Lintang
Bahwa pada bulan Juni 1951 Nyonya Oewij Wijen Silaban yang merupakan pewaris dari PENGGUGAT melimpahkan wewenang dengan delegasi atas tanah petuk milik para Penggugat digarap oleh H. Mustafa Arabia untuk mengusahakan pertanian di atas tanah Petuk dengan padi serta palawija serta hasilnya selalu dijual ke Pasar Tradisional Toddopuli, menyetorkan hasil keuntungan bersih secara bagi hasil 75% untuk Nyonya Oewij Wijen Silaban dan 25% untuk H. Mustafa Arabia.
Bahwa pada tanggal 1 Mei 1982, Nyonya Oewij Wijen Silaban meminjam uang sebesar Rp 560.000,00 dengan bunga 2% tiap bulan berdasarkan Akta Perjanjian Hutang No. 920/PH/V/1982 untuk membangun sebuah rumah diatas tanah petuknya kepada TERGUGAT II diwakili Erick Van Goeh sebagai sekutu yang bertanggungjawab kepada pihak ketiga serta mewakili TERGUGAT II didalam dan diluar pengadilan berdasarkan AD TERGUGAT II (P-2).
Bahwa Nyonya Oewij Wijen Sialban menjaminkan dengan hipotik tanah petuknya dan menyerahkan salinan Petuk Nomor 567 kepada Erick Van Goeh sebagai jaminan atas Perjanjian Pinjaman berdasarkan Akta Penjaminan Pelunasan Pembayaran No. 921/JP/V/1982 tertanggal 1 Mei 1982.
Bahwa pada tanggal 1 September 1982, Nyonya Oewij Wijen Silaban telah melunasi utangnya berserta bunga 2 % sebulan kepada Erick Van Goeh di hadapan Kingo Saoro, S.N., Notaris di Makassar dibawah Akta Pelunasan Hutang No.693/L-82.
Bahwa di sekitar akhir tahun 1983, tanpa sepengetahuan, tanpa hak dan tanpa seizin Nyonya Oewij Wijen Slaban, Erick Van Goeh dengan persetujuan Tergugat II telah mengajukan permohonan pendaftaran Hak Guna Bangunan atas tanah Petuk Nomor 567 kepada Tergugat secara melawan hukum, dengan menyertakan Salinan petuk Nomor 567, serta Akta Perjanjian Hutang No. 940/PH/V/1983 tertanggal 19 Oktober 1983 dengan Akta Penjaminan Pelunasan Pembayaran No. 941/JP/V/tertanggal 19 Oktober 1983 yang menyatakan jika Nyonya Oewij Wijen Silaban tidak dapat melunasi utangnya, ia dengan sukarela mengizinkan Eric Van Goeh memiliki Hak Guna Bangunan diatas tanah petuk Nomor 567.
Bahwa perbuatan TERGUGAT II tersebut telah menimbulkan kerugian bagi Nyonya Oewij Wijen Silaban dan Para Penggugat sebagai ahli warisnya yang sah sehingga termasuk Perbuatan Melawan Hukum berdasarkan pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.”
Bahwa Akta Perjanjian Hutang No. 940/PH/V/1983 dengan Akta Penjaminan Pelunasan Pembayaran No. 941/JP/V/1983 tertanggal 19 Oktober 1983 adalah palsu berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan oleh Laboratorium Kriminalitas No.1092/DF.2000 tanggal 25 November 2000 yang ditandatangani oleh Drs. Budi Arman Anizon dan Syahrial Nagur serta Dra. Kalentini dan diketahui oleh Drs. Billy HW.
Bahwa sesuai penelitian dan hasil berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan oleh Laboratorium Kriminalitas No.1092/DF.2000 tanggal 25 November 2000 yang ditandatangani oleh Drs. Budi Arman Anizon dan Syahrial Nagur serta Dra. Kalentini dan diketahui oleh Drs. Billy HW, Surat Perjanjian tersebut tidak pernah ada dan tanda tangan Ny. Oewij Wijen Silaban telah dipalsukan;
Bahwa pada 14 Desember 1983 TERGUGAT I telah menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 07/Makassar dan Gambar Situasi No. 192/5952/1982 atas nama Erick Van Goeh.
Bahwa tindakan hukum tergugat I tersebut telah melanggar Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik terutama Azas kecermatan dan ketelitian atau hati-hati sebagaimana dimaksud Pasal 45 ayat (1) huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan menimbulkan kerugian bagi Ny. Oewij Wijen Silaban dan PENGGUGAT sebagai ahli warisnya yang sah.
Bahwa Tergugat I telah melanggar Pasal 25 PP No. 1 tahun 1961 yang menyebutkan bahwa:
1) Akta untuk memindahkan hak, memberikan hak baru, menggadaikan tanah, atau meminjamkan uang dengan tanggungan hak atas tanah yang belum dibukukan dibuat oleh pejabat jika kepadanya, dengan menyimpang dari ketentuan Pasal 22 ayat (1) sub. a diserahkan Surat Keterangan Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa hak atas tanah itu belum mempunyai sertifikat atau sertifikat sementara. Di daerah-daerah kecamatan di luar kota tempat kedudukan Kepala Kantor Pendaftaran Tanah surat keterangan Kepala Kantor Pendaftaran Tanah tersebut dapat diganti dengan pernyataan yang memindahkan, memberikan, menggadaikan, atau menanggungkan hak itu, yang dikuatkan oleh Kepala Desa dan seorang anggota Pemerintah Desa yang bersangkutan. Selain surat-surat keterangan tersebut, kepada pejabat itu harus diserahkan pula :
 Surat Bukti Hak dan keterangan kepala desa yang dikuatkan oleh asisten wedana yang membenarkan surat bukti hak itu.
 Surat tanda bukti pembayaran biaya pendaftaran.
2) Pembuatan akta yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini harus disaksikan oleh kepala desa dan seorang anggota pemerintah desa yang bersangkutan.
Setelah menerima akta dan warkah lainnya yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, Kepala Kantor Pendaftaran Tanah membukukannya dalam daftar buku tanah yang bersangkutan.
Bahwa atas tindakan Tergugat I dalam menerbitkan sertifikat tanah sengketa kepada dan atas nama tanpa melalui prosedur undang-undang yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi PENGGUGAT maka TERGUGAT I telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum.
Bahwa pada tanggal 1 Februari 1990, Tergugat II diwakili Erick Van Goeh dihadapan Notaris Rihanna, SH mengadakan perjanjian kredit dengan Bank BTN yang berjangka waktu 10 tahun, bunga 8% sebesar Rp 1.000.000,00 berdasarkan Akta Perjanjian Kredit No. 881/PJ/II/1990 dengan salah satu jaminan berupa sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 07/Makassar berdasarkan Akta Jaminan Perjanjian Kredit No. 882/PJ/II/1990.
Bahwa jaminan berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 07/Makassar dikeluarkan atas tanah Petuk C 176 Persil 4 b Blok D III Kecamatan Rappocini, Makassar seluas ± 15.000 meter², yang merupakan tanah Petuk Ny. Oewij Wijen.
Bahwa pada tanggal 25 Mei 1999, bersamaan dengan terjadinya krisis moneter di Indonesia, Bank BTN termasuk dalam 52 Bank beku operasi dan bank beku kegiatan usaha (BBO-BBKU) yang kemudian dilikuidasi dan seluruh asetnya diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan PP No. 25/1999 tentang likuidasi Bank.
Bahwa pada tanggal 25 Mei 1999, TERGUGAT II belum melunasi hutang kreditnya atas Akta Perjanjian Kredit No. 881/PJ/II/1990.
Bahwa jaminan berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 07/Makassar atas tanah Petuk C 176 Persil 4 b Blok D III Kecamatan Rappocini, Makassar seluas ± 15.000 meter² termasuk asset yang diambil alih oleh BPPN. Hal ini berdasarkan Pasal 53 ayat (1) yaitu:
“Penanganan kredit Bank Dalam Penyehatan atau Aset Dalam Restrukturisasi dapat dilakukan melalui tindakan-tindakan antara lain:
1. Pemantauan kredit.
2. Peninjauan ulang, pengubahan, pembatalan, pengakhiran dan atau penyempurnaan dokumen kredit dan jaminan.
3. Restrukturisasi kredit.
4. Penagihan piutang.
5. Penyertaan modal pada Debitur
6. Memberikan jaminan atau penanggungan.
7. Pemberian atau penambahan fasilitas pembiayaan dan atau
8. Penghapusbukuan piutang.
Bahwa pada tanggal 1 Desember 1999, BPN atas persetujuan TURUT TERGUGAT II, menyerahkan tanah PENGGUGAT kepada TURUT TERGUGAT I sebagai bentuk penyertaan modal dari pemerintah kepada TURUT TERGUGAT I.
Bahwa pada tanggal 5 Januari 2000, TERGUGAT I menerbitkan sertifikat HGU dengan No.10/Makassar atas nama TURUT TERGUGAT I yang diubah atas Hak Guna Bangunan Tanah petuk C 176 Persil 4 b Blok D III Kecamatan Rappocini, Makassar seluas ± 15.000 meter² atas nama Erick Van Goeh.
Bahwa PENGGUGAT juga dapat meminta ganti rugi atas tindakan TERGUGAT I berdasarkan Pasal 32 ayat (1) dan (2) PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah dimana selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data yang ada disertifikat adalah benar. Dan apabila sertifikat telah dipunyai selama 5 (lima) tahun dan dikuasai oleh pihak yang mempunyai tanda bukti hak sertifikat dan diperoleh dengan itikad baik selama 5 tahun maka pihak yang merasa berhak tidak dapat menggugat hak atas tanah dan apabila ada kesalahan dalam pendaftaran dapat diberikan ganti rugi oleh Pemerintah.
Bahwa hingga sekarang penguasaan atas tanah tersebut hingga tahun 2000 masih dalam kendali Nyonya Oewij Wijen berdasarkan kuitansi penjualan padi 100 kuintal dan palawija 50 kuintal kepada Pasar Toddopuli Rp 125.000.000,-, sehingga TURUT TERGUGAT I tidak pernah menguasai lebih dari 5 Tahun, dan yang menguasai tanah selama lebih dari 50 tahun ialah Nyonya Oewij Wijen.
Bahwa sejak bulan Desember 2000 Penggugat tidak bisa lagi mengusahakan tanah petuk.
Bahwa pada tahun 2001 Ny. Oewij Wijen dan PENGGUGAT telah mengadakan Perjanjian Jual Beli atas Tanah tersebut, tetapi batal.
Bahwa pembatalan tersebut disebabkan telah terbitnya Sertifikat HGU dengan No.10/Makassar atas nama TURUT TERGUGAT I.
Bahwa dari perbuatan PARA TERGUGAT, Ny. Oewij Wijen Silaban dan PENGGUGAT sebagai ahli warisnya yang sah telah dirugikan secara moril dan materiil.
1. Bahwa kerugian materiil yang dialami oleh Ny. Oewij Wijen Silaban atas tindakan PARA TERGUGAT tersebut sebesar Rp. 1.000.000.000,- dengan rincian:

Penjualan padi dan palawija selama 1 tahun Rp. 32.500.000,00
Pengrusakan lahan Rp. 250.000.000,00
Batalnya pembelian atas tanah Rp. 717.500.000,00
___________________+
Total Rp. 1.000.000.000,00
Bahwa sejak tahun 1950 Nyonya Oewij Wijen selalu membayar pajak atas tanah sengketa berdasarkan bukti pembayaran pajak Petuk, Ipeda, dan PBB.
Bahwa Nyonya Oewij Wijen Silaban seharusnya mendapat perlindungan dari Pemerintah atas tanah Petuk berdasarkan (S. 1923-425 jo S. 1931-168) dimana Pengenaan pajak dilakukan dengan penerbitan surat pengenaan pajak atas nama pemilik tanah, yang di kalangan rakyat dikenal dengan sebutan : Petuk pajak, Pipil, Girik, Petok dan lain-lainnya. Karena pajak dikenakan pada yang memiliki tanahnya, petuk pajak yang fungsinya sebagai surat pengenaan dan tanda pembayaran pajak, di kalangan rakyat dianggap dan diperlakukan sebagai tanda bukti pemilikan tanah yang bersangkutan. Pengenaan dan penerimaan pembayaran pajaknya oleh Pemerintah pun oleh rakyat diartikan sebagai pengakuan hak pembayar pajak atas tanah yang bersangkutan oleh Pemerintah. Jika ada gangguan pembayar pajak mengharapkan memperoleh perlindungan dari Pemerintah.
Bahwa status tanah dan hubungan hukum wajib pajak dengan tanah yang menjadi obyek pajak merupakan salah satu faktor penentu pengenaan pajaknya.
Bahwa Petuk dapat dijadikan bukti pemilikan hak, apabila didukung dengan bukti-bukti lain baik tulisan maupun kesaksian.
Bahwa setiap orang atau badan yang memperoleh manfaat dari suatu bidang tanah bisa menjadi subyek pajak PBB, termasuk mereka yang menjadi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. dapat diketahui dari ketentuan pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 12 tahun 1985: “Yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai sesuatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.”
PRIMAIR
Berdasarkan uraian yang telah diuraikan di atas maka tergugat dengan segala kerendahan hati mohon agar Pengadilan Negeri Makassar berkenan memutus sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan (conservatoir beslag) yang dilakukan /diletakkan oleh pengadilan Negeri Makassar atas “Sebidang tanah berikut bangunan serta hasil bumi diatasnya yang terletak di Kelurahan Sewu , Kecamatan Rappocini, Kota Makassar seluas ± 15.000 meter²
3. Menyatakan secara hukum PARA TERGUGAT bersalah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap Penggugat;
4. Menyatakan secara hukum Petuk C 176 Persil 4 b Blok D III Kecamatan Rappocini, Makassar seluas ± 15.000 meter² yang selama ini dimilikinya Adalah sah secara hukum milik Ny. Oewij Wijen.Silaban
5. Menghukum Para Tergugat untuk membayar secara sekaligus dan tunai ganti kerugian Ny. Oewij Wijen Silaban kepada PENGGUGAT sebagai ahli warisnya yang sah sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
6. Menghukum PARA TERGUGAT untuk membayar biaya-biaya yang ditetapkan sebesar Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) kepada PENGGUGAT secara tunai.
7. Menghukum PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT untuk membayar Kerugian immateriil Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah); apabila lalai dikenakan uang paksa sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan;
8. Menghukum PARA TERGUGAT DAN TURUT TERGUGAT untuk tunduk dan patuh terhadap putusan perkara ini;
19. Menyatakan cacat dan tidak sah Sertifikat HGB No. 07/Makassar dan Gambar Situasi No. 192/5952/1982 atas nama Tergugat II ;
10. Menyatakan cacat hukum dan tidak mengikat Akta Perjanjian Hutang No.940/PH/V/1983 dengan Akta Penjaminan Pelunasan Pembayaran No.941/JP/V/1983 tertanggal 19 Oktober 1983.

11. Menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding, kasasi ataupun upaya hukuman lainnya dari para terguggat atau pihak ketiga lainnya (uitvoerbaar bij Vorraad)
12. Menghukum PARA TERGUGAT DAN TURUT TERGUGAT untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini;




SUBSIDAIR
Atau apabila Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berpendapat lain, PENGGUGAT mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)
Makassar 4 Desember 2009
Hormat Penggugat

ttd

Rudini TH Silaban