Kata Pengantar
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sebab rampungnya makalah kami yang berjudul “PELAKU KEJAHATAN”tepat pada waktunya tidak terlepas dari Rahmat dan Karunia-Nya.Kami juga mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memahami lebih dalam tentang mata kuliah Kriminologi.
Tentu saja demi kelengkapan materi dan kesempurnaan makalah ini,kami tetap mengharapkan masukan teman-teman atau tanggapannya baik dalam bentuk saran maupun kritikan adalah hal yang kami butuhkan dan kami akan sambut dengan senang hati agar makalah ini mencapai kesempurnaan.Atas perhatiannya yang lebih kepada makalah ini,kami ucapkan banyak TERIMAHKASIH.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan dari sejak Adam-Hawa kejahatan sudah tercipta, maka dari itulah kejahatan merupakan persoalan yang tak henti-hentinya untuk diperbincangkan oleh karena itu di mana ada manusia, pasti ada kejahatan “Crime is eternal-as eternal as society”. Masalah ini merupakan suatu masalah yang sangat menarik, baik sebelum maupun sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini. Maka pengertian kejahatan adalah relativ tak memilki batasRelativitas kejahatan dan aspek yang terkait di dalamnya tidaklah merupakan konsepsi hukum semata-mata, sekalipun memang legalitas penentuan kejahatan lebih nyata nampak dan dapat dipahami, akan tetapi aspek-aspek hukum diluar itu (extra legal) tidaklah mudah untuk ditafsirkan. karena kenisbian konsep kejahatan yang aneka macam seperti itu sering didengar didalam percakapan sehari-hari, kejahatan dalam artian hukum, sosiologi, dan kombinasi dari semuanya itu. Relativitas jelas akan berpengaruh terhadap penggalian faktor sebab musababnya yang pada gilirannya berpengruh terhadap metode penanggulangan kriminalitas pada umumnya.
Tentunya relativitas kejahatan memerlukan atau bergantung kepada ruang dan waktu, serta siapa yang menamakan seuatu itu adalah kejahatan.”Misdaad is benoming” yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. Meskipun kejahatan itu relatif, ada pula perbedannya antara “mala in se” dengan “mala in prohibita”.Mala in se adalah suatu perbuatan yang tanpa dirumuskan sebagai kejahatan sudah merupakan kejahatan. Sedangka Mala in prohibita, adalah suatu perbuatan manusia yang diklasifikasikan sebagai kejahatan apabila telah dirumuskan sebagai kejahatan dalam Undang-undang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perspektif kriminologi tentang pelaku kejahatan?
2. Apa faktor yang mempengaruhi orang melakukan kejahatan?
BAB II
PEMBAHASAN
Mengenai Paradigma Kriminologi, kita sebaiknya mencermati sejarahnya, dari Klasik hingga Kritis. Aliran klasik, mulai berkembang di Inggris pada akhir abad ke 19 dan kemudian meluas ke negara-negara lain di Eropa dan Amerika, dasar dari mazhab ini adalah hedonistic-psycology dan metodenya Arm- Chair (tulis menulis). Psikologi mejadi dasar aliran ini , sifatnya adalah individualistis, intelectualistis dan voluntaristis, aliran ini berpandangan adanya kebebasan kehendak sedemikain rupa, sehingga tidak ada kemungkinan untuk menyelidiki lebih lanjut sebab-sebab kejahatan atau usaha-usaha pencegahan kejahatan. Contoh yang sederhana adalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, sangat sederhana, namun pandangan ini berhasil menjadi tulang punggung hukum pidana dan merupakan doktrin yang berpengaruh hingga sekarang.
Menurut aliran ini orang yang melanggar undang-undang tertentu harus menerima hukuman yang sama tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya miskinnya, posisi sosial dan keadaan-keadan lain. Hukuman dijatuhkan harus berat, namun propossional, dan untuk memperbaiki, dan lain-lain. Meskipun aliran ini kurang mampu menjelaskan mengapa seseorang berperilaku jahat, namun hingga sekarang mencengkram kuat dan mempengaruhi terhadap pemberian makna penjahat. Penjahat adalah mereka yang dicap demikian oleh undang-undang, merupakan pengaruh nyata terhadap pola berfikir banyak ahli (hukum) di Indonesia.Aliran positivis muncul sebagai proses ketidak puasan dari jawaban-jawaban aliran klasik, aliran ini berusaha menjelaskan mengapa seseorang bisa bertindak jahat. Aliran ini bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik yang berupa faktor biologik maupun kultural. Ini berarti bahwa manusia bukan makhluk yang bebas untuk berbuat menuruti dorongan keinginannya dan intelegensinya, akan tetapi makhluk yang dibatasi atau ditentukan oleh perangkat biologiknya dan situasi kulturalnya. Lambroso, yang dianggap sebagai pelopor mazhab ini pada pertengahan abad ke 19 secara tegas mengetengahkan apa yang disebut Born Criminal (penjahat sejak lahir), bahwa penjahat sejak lahirnya merupakan tipe khusus, dengan kalsifikasi khusus misalnya pencuri, pembunuh atau penjahat-penjahat lainnya memiliki tanda atau ciri yang berbeda-beda, Aliran biologis yang dipeloporinya ini meskipun mendapat kritikan dari beberapa ahli kriminologi, namun sampai saat ini pengaruh dari Lombroso masih terasa, misalnya seseorang akan dicurigai apabila menampilakan ciri-ciri biologis berambut gondrong, berdahi lebar, seperti satau atau dua jumlah uyeng-uyeng di kepala bayi yang baru dilahirkan, dll. Kemudian muncul aliran yang memperluas dari individu (biologis) kepada kondisi-kondisi yang dapat menghasilkan penjahat. Kejahatan merupakan produk sistem sosial, yang menekankan pada struktur kesempatan yang berbeda atau diffrential opartunity structure, kemiskinan, rasisme dan lain-lain, sebagai faktor penyebab yang penting. Tercatat beberapa tokoh teori ini seperti Tarde, Lacasagne, WA Bonger dan Sutherland. Ketidak puasan terhadap aliran-aliran di atas kemudian menampilkan perspektif baru dalam melihat mengapa seseorang dapat menjadi jahat, sebagai hasilnya muncul apa yang disebut denagan perspektif aliran kriminologi baru yang memiliki pemikiran-pemikiran kritis dan radikal.
Munculnya aliran ini, tidak luput dari perkembangan atau konteks perubahan-perubahan sosial di Amerika Serikat sekitar tahun 1960, dan dibagian-bagian dunia setelah redanya perang dingin, muncul apa yang disebut dengan kriminologi kritis sampai radikal., bahwa pengungkapan terhadap kejahatan harus lebih kritis, selektif dan waspada. Wawasan kriminologi ini disebut kriminologi baru. Munculnya kriminologi baru ini salah satunya dan di mulai dengan munculnya teori Labbeling (labelling theory), dikemukakan Howard Becker yang mengatakan pada dasarnya kejahatan merupakan suatu proses dalam konteks, dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial. Perkembangan selanjutnya, perbuatan jahat (kejahatan) ditafsirkan sebagai hasil dari keadaan disorganisasi sosial dan kejahatan diakibatkan dari berbagai hal yang bersifat sosial seperti Industrialisasi, perubahan sosial yang cepat dan modernisasi. Kejahatan bukanlah kualitas perbuatan yang dilakukan oleh orang, melainkan sebagai akibat diterapkannya peraturan dan sanksi oleh orang-orang lain kepada seorang pelanggar. Oleh karena itu teori labelling ini telah merubah konteks studi kriminologi, yaitu dari penjahat kepada proses terjadinya kejahatan, meskipun istilah pertamanya teori ini muncul dalam bukunya Frank Tannenbaun, dan E.M Lemert, Disusul kemudian oleh teori-teori yang dikemukakan Austin Turk, Ralf Dahrendorf Chambliss dan Seidman, dengan teori Konflik,aliran ini disebut pula dengan aliran Kriminologi radikal. Bagi aliran-aliran kriminologi baru penyimpangan adalah normal, dalam pengertian manusia terlibat secara sadar dalam penjara-penjara yang sesungguhnya dan masyarakat yang juga merupakan penjara, dalam menyatakan kebhinekaan mereka. Tugas ahli kriminologi bukanlah sekedar mempermasalahkan stereotype atau bertindak sebagai pembawa-pembawa alternatif phenomenological realities, kewajiban ahli kriminologi adalah untuk menciptakan suatu masyarakat di mana kenyataan-kenyataan keragaman personal, organik dan sosial manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa.
Munculnya aliran baru kriminologi sebenarnya merupakan kritik terhadap perkembangan kriminologi itu sendiri, disaat kriminologi tradisional atau oleh Taylor disebut dengan istilah Orthodoks kriminologi, tidak mampu memuaskan jawaban-jawabn terutama terhadap mengapa mereka melakukan perbuatan-perbuatan jahat. Terlebih lagi studi yang dilakukan masih tradisional, fokus kejahatan hanyalah terhadap apa yang disebut dengan “kejahatan jalanan.” Terutama di Indonesia, hal ini telah menyita tenaga dari sistem peradilan pidana sehingga kejahatan-kejahatan dengan klasifikasi lain atau kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan menjadi tidak tersentuh, sehingga lahirnya aliran-lairan baru dalam kriminologi, apabila ditempatkan dalam konteks paradigma Thomas Kuhn, maka proses ini bisa disebut sebagai Lompatan Paradigmatik, bahwa Ilmu pengetahuan itu hidup karena revolusi bukan akumulasi. Menurut Mardjono,lahirnya Kriminologi yang non konvensional memberikan analisa berbeda, dilihat dari kacamata kriminologi yang non konvensional itu maka apa yang disjikan oleh kriminologi konvensional adalah menyesatkan, dengan dua hal yang menjadi sangat penting; bahwa angka kriminalitas yang tidak dilaporkan dan tidak tercatat cukup besar (the dark number of crime), dan ;di samping kejahatan jalanan masih terdapat kejahatan korporasi (Corporate crime) dan kejahatan-kerah putih/orang berdasi (White Collar Crime), yang jarang diketahui, dilaporkan dan dicatat.
Pada intinya aliran baru mengecam statistik kriminalitas yang tidak mampu memberikan data akurat, dan menjelaskan kejahatan secara faktual. Seorang kriminolog Indonesia yaitu Paul Moedikdo, memberikan komentar terhadap pandangan aliran-aliran kriminologi baru ini, menurutnya kadar kebenaran dan nilai praktis teori kritis dapat bertambah apabila hal itu dikembangkan dalam situasi kongkret demi kepentingan atau bersama-sama mereka yang diterbelakangkan, guna memperbaiki posisi hukum atau pengurangan keterbelakangan mereka dalam masyarakat. Akan tetapi bahaya praktek pengalaman yang terbatas adalah adanya penyempitan kesadaran dan diadakannya generalisasi terlalu jauh jangkauannya. Mereka sampai kepada perumusan-perumusan tentang kejahatan dan perilaku menyimpang yang tidak dapat dipertahankan oleh karena adanya generalisasi yang berlebihan bahwa delik-delik adalah pernyataan dari perlawanan sadar dan rasional terhadap masyarakat yang tidak adil yang hendak menyamaratakan orang menjadi objek-objek pengaturan oleh birokrasi ekonomi.
Ini kemudian dipertegas oleh Soedjono bahwa, dengan kata lain kriminologi baru melupakan sama sekali adanya street crime yang konvensional dan tradisional yang berkait dengan tatanan birokratis yang ada, maka dapat dikatakan catatan atau kritik terhadap kriminologi baru ini bahwa, perspektif baru memang diperlukan dalam meluruskan pandangan sempit dari kriminologi konvensional, namun rumusannya tentang kejahatan dan generalisasinya mengenai teori kejahatan dan perilaku menyimpang terlalu jauh, sehingga justru melahirkan pertentangan pendapat yang berkepanjangan dan dapat memecah belah para kriminologi ke dalam dua kubu. Paul Moedikdo juga memberikan komentarnya terhadap Ian Taylor dll, yaitu bahwa rumusan kewajiabn ahli kriminologi untuk berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana kenyataan-kenyataan kebhinekaan manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa adalah rumusan yang keliru. Bukan kekuasaan untuk mengkriminalisasi kajahatan yang harus dirumuskan atas dasar prinsip-prinsip egalitarian dan kooperatif, bukan berdasarkan hierarkhikal dan eksploitatif. Suatu kritik dilontarkan pula terhadap teori Labelling bahwa, teori ini bersifat deterministik dan menolak pertanggungjawaban individual, dan teori ini tidak berlaku untuk semua jenis kejahatan, bahkan meurut Hagan, teori labeling yang selalu berangapan bahwa setiap orang melakukan kejahatan dan nampak bahwa argumentasinya adalah cap, dilekatkan secara random. Kenyataannya bahwa hanya kejahatan yang sangat serius memperoleh reaksi masyarakat atau cap.
A. Klasifikasi Penjahat
Noach melihat krimanalitas dari dua sisi, yaitu
1. Sisi Perbuatannya
Dilihat dari sisi perbuatannya, kriminalitas dapat dikelompokkan lagi ke dalam dua kelompok yaitu:
a. Cara Perbuatan itu dilakukan, kelompok ini dapat dibagi menjadi:
Perbuatan dilakukan dengan cara si korban mengetahui baik perbuatannya maupun pelakunya. Tidak menjadi masalah apakah si korban sadar bahwa itu adalah suatu tindak pidana atau bukan. Misalnya dalam hal penganiayaan, penghinaan, perampokan, penipuan, dan delik seksual. Di samping itu terdapat pula delik yang dilakukan sedemikian rupa sehingga si korban tidak mengetahui baik perbuatannya maupun maupun pelakunya pada saat perbuatan itu dilakukan seperti penggelapan, penadahan, pencurian, pemalsuan, dan peracunan
Perbuatan dilakukan dengan menggunakan sarana seperti bahan kimia, perlengkapan, dan sebaginya atau tanpa sarana
Perbuatan dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau dilakukan dengan “biasa”.
b. Benda hukum yang dikenai atau menjadi obyek delik misal kejahatan terhadap nyawa, kejahatan terhadap kekuasaan umum, dan lain sebagainya.
2. Sisi Pelakunya
Dilihat dari sisi pelakunya, dapat dibagi menurut motif si pelaku, mengapa melakukan kejahatan, dan dari sifat pelaku sendiri.,Lombroso mengklasifikasi penjahat sebagai berikut:
a. Penjahat pembawaan (born criminal), yaitu penjahat yang dilihat dari ciri-ciri tubuhnya (stigmata) karena atavisme (degenerasi) lalu menjadi jahat.
b. Penjahat karena sakit jiwa seperti idiot, imbesil, melankoli, epilepsi, histeri, dementia pellagra, dan pemabuk
c. Penjahat karena dorongan hati panas (passion) seperti membunuh istri simpanan suaminya
d. Penjahat karena kesempatan yang dapat dibagi menjadi:
Penjahat bukan sebenarnya (pseudo criminal) yaitu mereka yang melakukan tindak pidana karena keadaan yang sangat melukai hati secara luar biasa dan mereka yang melakukan tindak pidana hanya karena tindakan teknis, tanpa menyangkut suatu nilai moral atau norma, misalnya pelanggaran lalu lintas, dsb.
Penjahat karena kebiasaan, penjahat ini pada saat lahir normal, namun sejak masa kanak-kanak dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang jahat, akhirnya kebiasaan itu menjadi watak yang menyimpang dari anggota masyarakat normal.
e. Kriminoloid, merupakan peralihan antara penjahat pembawaan dan penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yang baru pada keadaan kurang baik yang ringan-ringan saja telah terlibat dalam tindak pidana
Dalam klasifikasinya, Lombroso menggunakan kriteria psikis, fisik, dan lingkungan.
Garfalo, membuat klasifikasi sebagai berikut:
Pembunuh
Penjahat agresif
Penjahat karena kurang kejujuran, dan
Penjahat karena dorongan hati panas atau karena ketamakan
Aschaffenburg membagi penjahat menjadi:
Penjahat karena kebetulan, yaitu mereka yang melakukan tindak pidana karena culpa
Penjahat karena pengaruh keadaan, yaitu mereka yang karena pengaruh tiba-tiba dengan segera berakibat dia melakukan kejahatan
Penjahat karena kesempatan, yaitu mereka yang karena ada kesempatan terbuka secara kebetulan, lalu melakukan tindak pidana
Penjahat kambuhan (residivis), yaitu mereka yang berulang-ulang melakukan kejahatan, baik kejahatan semacam maupun tidak
Penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yang secara teratur melakukan kejahatan
Penjahat professional, mereka yang secara teratur melakukan kejahatan secara aktif dan sikap hidupnya memang diarahkan kepada kejahatan
Abrahamsen membagi penjahat menjadi:
a. Penjahat sesat,
Penjahat karena situasi tertentu, kebetulan, dan karena pengaruh orang lain
b. Penjahat kronis
Penjahat karena penyimpangan organis atau fungsional tubuh maupun jiwa
Penjahat sesat yang kronis yaitu mereka sering kali terlibat dalam suatu situasi, kronis, karena pengaruh orang lain.
Penjahat neurotik, dan mereka yang bertindak di bawah pengaruh dorongan di dalam dirinya
Penjahat dengan watak neurotis, jika penjahat neurotik banyak dilihat dari tingkah lakunya, maka penjahat dengan watak neurotis dilihat dari watak kepribadiannya
Penjahat dengan pertumbuhan nurani yang kurang baik (superego)
Gruhle membagi penjahat menjadi:
a. Penjahat karena kecenderungan (bukan bakat):
Aktif: mereka yang mempunyai kehendak untuk berbuat jahat
Pasif: mereka yang tidak merasa keberatan terhadap dilakukannya tindak pidana, tetapi tidak begitu kuat berkehendak sebagai kelompok yang aktif, delik bagi mereka ini merupakan jalan keluar yang mudah untuk mengatasi kesulitan.
b. Penjahat karena kelemahan
Mereka yang baik karena situasi sulit, keadaan darurat maupun keadaan yang cukup baik, melakukan kejahatan, bukan karena mereka berkemauan, melainkan karena tidak punya daya tahan dalam dirinya untuk tidak berbuat jahat.
c. Penjahat Karena hati panas
Mereka yang karena pengaruh sesuatu tidak dapat mengendalikan dirinya juga karena putus asa lalu berbuat jahat.
d. Penjahat karena keyakinan
Mereka yang menilai normanya sendiri lebih tinggi daripada norma yang berlaku di dalam masyarakat
Capeli membagi penjahat menurut faktor terjadinya kejahatan yaitu:
a. Karena faktor psikopatologik:
Orang-orang yang kurang waras, gila
Orang yang secara psikis tidak normal, tetapi tidak gila
b. Karena faktor organis:
Orang-orang yang karena menderita gangguan fisik pada waktu telah cukup umur, seperti mereka yang menjadi tua, berbagai macam cacat
Orang-orang yang menderita gangguan fisik sejak masa kanak-kanak atau sejak lahir, dan yang menderita kesulitan pendidikan atau sosialisasi.
c. Karena faktor sosial:
Penjahat kebiasaan
Penjahat karena kesempatan (karena keadaan/desakan ekonomi atau fisik)
Penjahat yang pertama-tama melakukan kejahatan kecil-kecil, seringkali hanya secara kebetulan saja, selanjutnya meningkat ke arah kejahatan yang lebih serius
Pengikut serta kejahatan kelompok, seperti pencurian di pabrik, lynch (pengeroyokan)
Seelig berpendapat bahwa kejahatan atau delik mungkin sebagai akibat dari watak si penjahat (disposisinya), atau karena peristiwa psikis saat terjadinya kejahatan. Pembagian penjahatnya menjadi tanpa dasar yang tunggal, dan Seelig dengan tegas melihatnya bahwa secara biologis (dalam arti ciri tubuh dan psikis) merupakan kelompok manusia yang heterogen dan tidak tampak memiliki ciri-ciri biologis. Dari pandangan itu, Seelig membagi penjahat menjadi:
a. Delinkuen professional karena malas bekerja
Mereka melakukan delik berulang-ulang, seperti orang melakukan pekerjaan secara normal. Kemalasan kerjanya mencolok, cara hidupnya sosial. Misal gelandangan, pelacur
b. Delinkuen terhadap harta benda karena daya tahan lemah
Mereka biasanya melakukan pekerjaan normal seperti orang kebanyakan. Namun di dalam kerjanya, ketika melihat ada harta benda, mereka tergoda untuk memilikinya, karena daya tahan yang lemah, mereka melakukan delik. Misal pencurian di tempat kerja, penggelapan oleh pegawai administrasi, dll
c. Delinkuen karena dorongan agresi
Mereka sangat mudah menjadi berang dan melakukan perbuatan agresif dengan ucapan maupun tulisan. Biasanya mereka ini menunjukkan kurangnya tenggang rasa dan perasaan sosial. Penggunaan minuman keras sering terjadi diantara mereka
d. Delinkuen karena tidak dapat menahan dorongan seksual
Mereka ini adalah yang tidak tahan terhadap dorongan seksual dan ingin memuaskan dorongan itu dengan segera, karena kurangnya daya tahan.
e. Delinkuen karena krisis
Mereka yang melihat bahwa tindak pidana adalah sebagai jalan keluar dalam krisis. Krisis ini meliputi:
Perubahan badani, perubahan yang menimbulkan ketegangan seseorang (pubertas, klimaktorium, menjadi tua)
Kejadian luar yang tidak menguntungkan, khususnya dalam lapangan ekonomi atau dalam lapangan percintaan
Karena krisis diri sendiri.
f. Delinkuen karena reaksi primitive
Mereka yang berusaha melepaskan tekanan jiwanya dengan cara yang tidak disadari dan seringkali bertentangan dengan kepentingan dirinya sendiri atau bertentangan dengan kepentingan hukum pihak lain. Tekanan tersebut dapat terjadi sesaat atau terbentuk sedikit demi sedikit dan terakumulasi, dan pelepasannya pada umumnya tidak terduga
h. Delinkuen karena keyakinan
Seseorang melakukan tindak pidana karena merasa ada kewajjiban dan adanya keyakinan bahwa merekalah yang paling benar. Mereka menilai normanya sendiri lebih tinggi daripada norma kelompok lain. Hanya jika penilaian normanya ini terlalu kuat, maka barulah dikatakan delinkuen karena keyakinan.
g. Delinkuen karena tidak punya disiplin kemasyarakatan
Mereka yang tidak mau mengindahkan hal-hal yang oleh pembuat undang-undang diatur guna melindungi kepentingan umum.
B. Penyebab Kejahatan
Pada umumnya penyebab kejahatan terdapat tiga kelompok pendapat yaitu:
a. Pendapat bahwa kriminalitas itu disebabkan karena pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku
b. Pendapat bahwa kriminalitas merupakan akibat dari bakat jahat yang terdapat di dalam diri pelaku sendiri
c. Pendapat yang menggabungkan, bahwa kriminalitas itu disebabkan baik karena pengaruh di luar pelaku maupun karena sifat atau bakat si pelaku.
Bagi Bonger, bakat merupakan hal yang konstan atau tetap, dan lingkungan adalah faktor variabelnya dan karena itu juga dapat disebutkan sebagai penyebabnya bahwa ada hubungan langsung antara keadaan ekonomi dengan kriminalitas biasanya mendasarkan pada perbandingan statistik dalam penelitian. Selain keadaan ekonomi, penyebab di luar diri pelaku dapat pula berupa tingkat gaji dan upah, pengangguran, kondisi tempat tinggal bobrok, bahkan juga agama. Banyak penelitian yang sudah dialakukan untuk mengetahui pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku untuk melakuakn sebuah tindak pidana. Biasanya penelitian dilakukan dengan cara statistic yang disebut dengan ciminostatistical investigation.
Bagi para penganut aliran bahwa kriminalitas timbul sebagai akibat bakat si pelaku, mereka berpandangan bahwa kriminalitas adalah akibat dari bakat atau sifat dasar si pelaku. Bahkan beberapa orang menyatakan bahwa kriminalitas merupakan bentuk ekspresi dari bakat. Para penulis Jerman mengatakan bahwa bakt itu diwariskan. Pemelopor aliran ini, Lombroso, yang dikenal dengan aliran Italia, menyatakan sejak lahir penjahat sudah berbeda dengan manusia lainnya, khususnya jika dilihat dari ciri tubuhnya. Ciri bukan menjadi penyebab kejahatan melainkan merupakan predisposisi kriminalitas. Ajaran bahwa bakat ragawi merupakan penyebab kriminalitastelah banyak ditinggalkan orang, kemudian muncul pendapat bahwa kriminalitas itu merupakan akibat dari bakat psikis atau bakat psikis dan bakat ragawi.
Untuk mendapatkan bukti pengaruh pembawaan dalam kriminalitas, berbagai macam penelitian telah dilakukan dengan berbagai macam metode. Metode yang menarik antara lain:
a. Criminal family, penyelidikan dilakukan terhadap keluarga penjahat secara vertical dari satu keturunan ke keturunan yang lain
b. Statistical family, penyelidikan sejarah keluarga golongan besar penjahat secara horizontal untuk mendapatkan data tentang faktor pembawaan sebagai keseluruhan
c. Study of twins, penyelidikan terhadap orang kembar.
Setiap orang, sedikit atau banyak memiliki bakat kriminal, dan bilamana orang itu dalam lingkungan yang cukup kuat untuk berkembangnya bakat kriminal sedemikian rupa, maka orang itu pasti akan terlibat dalam kriminalitas. Hubungan antara pengaruh pembawaan dan lingkungan pada etiologi kriminal yang dikaitkan dengan penyakit-penyakit mental dengan diagram sebagai berikut: Lindesmith dan Dunham menyimpulkan bahwa kriminalitas dapat 100 persen sebagai akibat dari faktor kepribadian namun juga dapat 100 persen sebagai akibat faktor sosial, tetapi yang paling banyak adalah sebagai gabungan faktor pribadi dan faktor sosial yang bersama-sama berjumlah 100 persen.
Seelig membagi hubungan bakat-lingkungan-kejahatan sebagai berikut:
a. Sementara orang, oleh karena bakatnya, dengan pengaruh lingkungan yang cukupan saja telah melakukan deik
b. Lebih banyak orang yang karena bakatnya, dengan pengaruh lingkungan yang kuat, melakukan delik
c. Sangat sedikit orang karena pengaruh dari luar yang cukupan saja, melakukan delik
d. Sebagian besar orang lebih dari 50 persen, dengan bakatnya, walaupun berada di dalam lingkungan yang kurang baik dan cukup kuat, tidak ,menjadi kriminal.
Sauer berpendapat bahwa pertentangan bakat-lingkungan itu terlalu dilebih-lebihkan, dan bahwa baik bakat, lingkungan atau keduanya bersama-samadapat menjadi penyebab kriminalitas sudahlah cukup. Selanjutnya ia mengatakan bahwa setiap pelaku berdasarkan bakat sebagai sumber biologis dan sedikit atau banyak dipengaruhi oleh kekuatan dari luar yang berasal dari alam maupun masyarakat, dan baik itu merupakan syarat ataupun merupakan gejala yang mengiringinya, pelaku itu melakukan perbuatan kriminalnya. Sebagai faktor ketiga, Sauer masih menyebutkan pula kehendak.
Noach mengatakan kriminalitas yang terjadi pada orang normal merupakan akibat dari bakat dan lingkungan, yang pada suatu ketika hanya salah satu faktor saja, pada waktu yang lain faktor yang lainnya dan yang kedua-duanya mungkin saling berpengaruh.
Sutherland mengawali penjelasannya tentang teori sosiologis dengan menunjukkan dua prosedur yang penting yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan teori sebab musabab perilaku kriminal. Yang pertama adalah abstraksi logis, penelitiannya menunjukkan bahwa perilaku kriminal itu sedikt berkaitan dengan patologi sosial dan patologi pribadi. Dan yang kedua diferensiasi tingkat analisis yang artinya dalam menganalisis penyebab kejahatan haruslah diketahui pada tingkat tertentu yang mana.
Untuk menjelaskan perilaku kriminal secara ilmiah dapat dilakukan dalam hubungan dengan :
a. Proses yang terjadi pada waktu kejahatan itu (Mekanistis, situasional, atau dinamis)
b. Proses yang terjadi sebelum kejahatan berlangsung (Historis atau Genetik)
Proses seseorang terlibat dalam perilaku kriminal adalah sebagai berikut:
Perilaku kriminal itu dipelajari
Perilaku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain di dalam proses komunikasi
Inti dari mempelajari perilaku kriminal terjadi di dalam kelompok pribadi yang intim
Dalam mempelajari perilaku kriminal, yang dipelajari meliputi:
•Teknik melakukan kejahatan
•Arah khusus dari motif, dorongan, rasionalisasi, dan sikap
Arah kasus dari motif dan dorongan dipelajari dari batasan-batasan hukum
Seseorang menjadi delinkuen karena sikap yang cenderung untuk melanggar hukum melebihi sikap yang merasa tidak menguntungkan bila melanggar hukum pengaruh kelompok terhadap individu, maka dapatlah dipikirkan:
a. Seorang individu mendapat pengaruh hanya dari satu macam kelompok;
b. Seorang individu mendapat pengaruh dari dua kelompok atau
c. Differential association mungkin bervariasi dalam hal frequensi, lamanya, prioritasnya, dan intensitasnya
d. Proses belajar perilaku kriminal melalui asosiasi dengan pola kriminal dan anti-kriminal semua mekanisme atau cara belajar pada hal-hal yang lain
e. Perilaku merupakan ungkapan kebutuhan dan nilai, tetapi hal ini tidak dipakai untuk alasan, karena perilaku non-kriminal pun juga merupakan ungkapan kebutuhan dan nilai.
Mengenai pengaruh individu dan kelompok, bila meninjau kemungkinan lebih.
THORSTEN SELLIN berpendapat bahwa konflik antar norma dari tatanan budaya yang berbeda mungkin terjadi karena:
a. Tatanan ini berbenturan di daerah budaya yang berbatasan;
b. Dalam hal norma hkum, hukum dari suatu kelompok tertentu meluas dan menguasai wilayah kelompok budaya yang lain;
c. Anggota dari kelompok budaya pindah ke kelompok budaya yang lain.
Kecenderungan dalam teori sosiologi untuk memberikan nama kepada struktur sosial yang berfungsi (secara salah) pada dorongan biologis manusia yang tidak dibatasi oleh kontrol sosial. Sikap koformis implikasinya adalah sebagai akibat dari pemikiran dan perhitungan akan kebutuhan atau karena alasan yang tidak diketahui. Tokohnya adalah MERTON yang mencoba mencari bagaimana struktur sosial menerapkan tekanan terhadap orang-orang di dalam masyarakat dan bersifat non-konformis dan bukannya konformis. Diantara unsur-unsur sosial dan struktur sosial terdapat dua hal yang penting, yaitu: Pertama, adalah tujuan, maksud dan kepentingan budaya yang telah bersama-sama ditentukan. Hal ini meliputi aspirasi budaya, yang oleh MERTON disebut “pola hidup berkelompok” (designs for group living). Kedua, struktur sosial itu menetapkan mengatur dan mengendalikan cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Kesesuaian atau koordinasi antara “tujuan” dan “cara” sangatlah perlu di dalam struktur sosial, sebab tanpa adanya kesesuaian, keseimbangan, atau koordinasi antara dua hal tersebut akan mengarah kepada “anomie” yaitu situasi tanpa norma dalam struktur sosial tang disebabkan karena adanya jurang perbedaan antara aspirasi dalam bidang ekonomi yang telah melembaga dalam masyarakat dengan kesempatan yang diberikan oleh struktur sosial tersebut untuk mencapainya. Dr. J.E. Sahetapy membagi teori-teori sosiologik mengenai kriminal berdasarkan penekanan pada:
a. Aspek konflik kebudayaan (Culture conflict) yang terdapat dalam sistem sosial
b. Aspek disorganisasi sosial
c. Aspek ketiadaan norma
d. Aspek sub-budaya (Sub-Culture) yang terdapat di dalam kebudayaan induk (dominan culture)
C. Hubungan Kriminalitas dengan Berbagai Gejala
A. Kriminalitas dan Jenis Kelamin
Angka statistik menunjukkan bahwa jumlah wanita yang dijatuhi pidana lebih rendah daripada pria. Angka statistik ini menunjuk pada perbuatan delik secara umum. Namun bila perbuatan delik sudah dikhususkanm kemungkinan angka statistik perbandingan pelaku delik wanita dengan pria akan bertambah porsi bagi wanitanya. Misalnya saja dalam delik abortus.
Telah banyak penjelasan mengenai kenyataan ini dan dapat dikelompokkan dalam tiga kategori antara lain:
Sebenarnya kriminalitas yang dilakukan oleh wanita jauh lebih tinggi dari angka yang ada
Hal tersebut dikarenakan masih banyaknya dark number yaitu anka kejahatan yang tidak dicatat karena sesuatu hal. Contohnya dalam kasus abortus, kasus ini kebanyakan akan ditutup-tutupi dan disembunyikan baik oleh korban maupun keluarganya. Selain hal tersebut, kaum pria cenderung memiliki sifat gentleman yaitu berusaha melindungi wanita. Ketika terdapat wanita yang melakukan kejahatan, pria merasa perlu melindunginya.
Kondisi lingkungan bagi wanita ditinjau dari segi kriminologi lebih menguntungkan daripada kondisi bagi pria
a. Faktor lingkungan lebih menguntungkan wanita karena
Perkawinan bagi wanita merupakan faktor anti irininogen, angka statistic menunjukkan bahwa angka kriminalitas tertinggi oleh wanita dilakukan oleh wanita yang bercerai
Jika dibandingkan dengan pria, partisipasi wanita lebih sedikit dalam kegiatan masyarakat sehingga dapat mengurangi konflik yang dapat mengarah pada kriminalitas.
b. Sifat wanita sendiri membawa pengaruh rendahnya kriminalitas
Faktor fisik wanita yang lemah kurang cocok untuk delik-delik agresi
Faktor psikis wanita mempunyai variasi yang lebih sempit, jadi sifat ekstrem baik maupun buruk jarang terjadi pada wanita
B. Kriminalitas dan Cacat Tubuh
Cacat tubuh dibedakan antara yang diderita sejak kelahirannya dan yang diperoleh dalam perjalanan hidupnya. Cacat tubuh yang memungkinkan menjadi faktor kriminogen antara lain:
Wajah
Tuli
Buta
C. Keluarga dan Hubungan Keluarga
Pengaruh keluarga muncul pada:
Situasi Keluarga
Pada keluarga yang berantakan dan pecah, berpotensi untuk menimbulkan kejahatan
Besarnya Keluarga
Semakin besar keluarga, semakin tinggi beban ekonominya. Anak kurang mendapatkan perhatian dari orang tua, kenakalan tidak diperhatikan orang tua, Kemungkinan konflik dengan lingkungan lebih besar
Anak tunggal
Anak tunggal kebanyakan dimanjakan dan diperlakukan over protective
Tidak adanya saudara menyulitkan anak untuk menyesuaikan diri sebagai anggota suatu kelompok
D. Kriminalitas dan Umur
Di masa anak-anak, statistic kriminalitas tidak dapat diikuti dengan tegas, karena banyak kejahatan yang dilakukan oleh anak tidak dipidana namun hanya diberitahukan kepada orang tua. Jenisnya bisanya berupa pencurian sederhana, perusakan barang, atau pencurian karena disuruh oleh orang lain. Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Di masa ini frekensi kejahatan tinggi terjadi konflik antara harapan dan kenyataan. Macam kejahatannya dapat berawal dari pencurian biasa sampai dengan pencurian dengan kekerasan. Awal masa dewasa adalah lanjutan dari masa remaja. Frekuensi kriminalitas masih tetap tinggi walaupun sedikit lebih rendah jika dibandingkan pada masa remaja.Macam kriminalitas berupa pencurian yang lebih canggih, penggelapan, dan seksualitas
Pada Masa Dewasa Penuh kejahatan yang dilakukan cenderung pada yang lebih menggunakan akal dan pikiran dari pada kekuatan fisik. Frekuensinya menurun namun kualitasnya meningkat. Macam kriminalitasnya banyak ditujukan pada kekayaan seperti penggelapan, pemalsuan, dan penipuan.
Pada masa usia lanjut, kekuatan fisik maupun psikis sudah mulai menurun. Produktivitas juga menurun. Karena penghasilan menurun, dorongan untuk melakukan delik terhadap kekayaan ada kecenderungan meningkatnamun dengan cara anak-anak.
e. Residivis
Kebanyakan resedivis melakukan kejahatan pada waktu masih muda. Lebih dari 50% residivis pernah melakukan kejahatan pertama kali pada usia muda. Mereka yang baru mulai menjadi kriminal pada usia dewasa, kemungkinan melakukan residivis lebih kecil karena waktu untuk melakukan residivis relative pendek, pola watak pada masa dewasa telah mantap, kriminalitas yang dilakukan dan diketahui orang tidak jarang hanya merupakan masalah kondisi yang kebetulan dan bukannya kondisi yang berulang.
f. Keadaan Ekonomi, Lapangan Kerja, dan Rekreasi
Kemelaratan miningkatkan kejahatan. Bahkan kemelaratanlah yang menyebabkan kejahatan. Kemunduran kemakmuran baik secara individu maupun pada kelompok dapat meningkatkan tingkat kriminalitas. Kemelaratan sebenarnya bukanlah satu-satunya faktor yang menimbulkan konflik dan faktor kriminogen. Ketika sebuah masyarakat terisolasi yang penghidupannya menurut masyarakat lain dianggap rendah, akan dapat tetap hidup tenang jika norma dalam masyarakat tersebut tidak berubah dan tidak ada kesenjangan diantara mereka. Jurang perbedaan dalam hal keadaan ekonomi dapat menjadi faktor kriminogen. Yang menjadi perhatian kriminologi dalam lapangan pekerjaan antara lain seperti faktor pemilihan lapangan kerja yang biasanya dipengaruhi oleh lingkungan, norma di lapangan kerja terutama dalam pekerjaan yang pekerjanya saling berhubungan dalam waktu yang lama dapat menimbulkan sebuah norma kerja sendiri. Jika norma lapangan kerja menyimpang, contohnya di sebua pabrik sudah biasa pekerjanya mengambil hasil produksinya, padahal di pabrik yang lain tidak, hal tersebut akan menjadi kebiasaan, dan kesempatan yang terdapat dalam lapangan pekerjaan yang dapat berupa ketrampilan yang digunakan untuk kejahatan dan lingkungan lapangan pekerjaan yang mendukung seseorang untuk melakukan tindak pidana. Rekreasi dapat menjadi faktor kriminogen dan anti-kriminogen. Melalui rekreasi akan diperoleh rasa puas dan lepas dari ketegangan. Perasaan yang demikian akan mengurangi kriminalitas. Sedangkan di sisi yang lain rekreasi merupakan pengeluaran. Bisa jadi pendapatan tidak dapat mengejar rekreasi yang diinginkan. Bentuk rekreasi dapat pula mengarah pada kriminalitas seperti berburu, dan permainan ketrampilan yang mengarah pada perjudian.
D. Kriminalitas sebagai Profesi dan Kebiasaan
Batasan antara penjahat professional dan yang sebagai kebiasaan menurut Noach adalah: “Penjahat professional memang pekerjaannya atau mata pencahariannya sebagai penjahat, sedangkan penjahat sebagai kebiasaan, kecuali melakukan kejahatan juga mempunyai pekerjaan lain. Apakah menjadi tumpuan penghidupannya itu pekerjaan dari kejahatan atau pekerjaan yang lain yang halal bukan masalah”
Sutherland menunjukkan sifat-sifat khusus dari penjahat professional antara lain sebagai berikut: “Secara teratur tiap hari menyiapkan dan melakukan kejahatan. Untuk itu, penjahat tersebut memerlukan kemampuan teknik guna melakukan kejahatannya dan melatih diri serta mengembangkan kemampuannya itu.
Pencuri professional dapat melakukan kejahatannya dengan aman karena tiga hal yaitu:
a. Memilih cara yang paling minimum bahayanya
b. Pencuri meningkatkan ketrampilan dan kemampuannya baik secara fisik maupun psikisnya
c. Dengan cara mengatur “fix” (pemulihan) sekiranya ia tertangkap, teknik pemulihan itu juga sedemikian rupa, baik dilakukan oleh si pencuri sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak jarang polisi, jaksa, bahkan hakim dilibatkan.
Selain kejahatan secara umum, ada pula kejahatan yang terorganisasi (organized crime). Organisasi kecil-kecilan seperti di kalangan pencopet membuat normanya sendiri, dengan sanksinya yang cukup tegas dan kadang daerah operasinyapun telah dibagi. Organisasi tersebut disebut dengan organisasi informalTerdapat pula organisasi penjahat yang bersifat lebih formal. Cirinya adalah yang pertama adanya pembagian pekerjaan, yaitu semacam spesialisasi tertentu yang berada dalam jaringan sistem, kedua bahwa kegiatan masing-masing di dalam sistem tersebut dikoordinasikan dengan kegiatan lain melalui aturan permainan, persetujuan dan saling pengertian, dan yang ketiga, seluruh kegiatan tersebut secara rasional diarahkan pada suatu tujuan yang sama-sama diketahui oleh para anggotanya. Prostitusu juga dapat dikategorikan ke dalam kejahatan professional walaupun kata kejahatan kurang tepat jika disematkan pada prostitusi karena jika dilihat dalam KUHP tidak ada pasal yang mengancam prostitusi kecuali perbuatan yang memudahkan prostitusi.
Menurut Norwood East pengertian prostitusi adalah hubungan seksual yang tanpa pilih-pilih atas dasar bayaran. Yang paling banyak terjun dalam dunia prostitusi adalah kaum wanita walaupun tidak menutup kemungkinan pula prostitusi dilakukan oleh kaum laki-laki. Menurut Glover wanita yang cenderung untuk melakukan tindakan prostitusi adalah mereka yang mengalami gangguan psikologis maupun seksual, dan merupakan akibat dari kurangnya kasih sayang dan perhatian pada masa kanak-kanak. Motivasi wanita untuk terjun dalam dunia prostitusi utamanya adalah kebutuhan ekonomi dan keinginan untuk mendapatkan kebutuhan lainnya disamping kebutuhan pokok sehari-hari. Tidak jarang mereka yang terjun dalam lembah hitam karena bujukan keluarga atau kenalannya yang sudah terlebih dahulu berada di dalam dunia prostitusi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Relativitas Kejahatan, sosiologi berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Analisis terhadap kondisi-kondisi dan proses-proses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama yang terdapat hubungan antara variasi kejahatan dengan variasi organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi, maka angka-angka kejahatan dalam masyarakat, golongan-golongan masyarakat dan kelompok-kelompok sosial mempunyai hubungan dengan kondisi-kondisi dari proses-proses misalnya gerak sosial, persaingan dan penentangan kebudayaan, ideologi, politik, agama, ekonomi. Dengan cara inilah sosiologi memandang arti sebuah kejahatan.
Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan dari sejak Adam-Hawa kejahatan sudah tercipta, maka dari itulah kejahatan merupakan persoalan yang tak henti-hentinya untuk diperbincangkan oleh karena itu di mana ada manusia, pasti ada kejahatan “Crime is eternal-as eternal as society”. Masalah ini merupakan suatu masalah yang sangat menarik, baik sebelum maupun sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini. Maka pengertian kejahatan adalah relativ tak memilki batasRelativitas kejahatan dan aspek yang terkait di dalamnya tidaklah merupakan konsepsi hukum semata-mata, sekalipun memang legalitas penentuan kejahatan lebih nyata nampak dan dapat dipahami, akan tetapi aspek-aspek hukum diluar itu (extra legal) tidaklah mudah untuk ditafsirkan. karena kenisbian konsep kejahatan yang aneka macam seperti itu sering didengar didalam percakapan sehari-hari, kejahatan dalam artian hukum, sosiologi, dan kombinasi dari semuanya itu. Relativitas jelas akan berpengaruh terhadap penggalian faktor sebab musababnya yang pada gilirannya berpengruh terhadap metode penanggulangan kriminalitas pada umumnya.
Tentunya relativitas kejahatan memerlukan atau bergantung kepada ruang dan waktu, serta siapa yang menamakan seuatu itu adalah kejahatan.”Misdaad is benoming” yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. Meskipun kejahatan itu relatif, ada pula perbedannya antara “mala in se” dengan “mala in prohibita”.Mala in se adalah suatu perbuatan yang tanpa dirumuskan sebagai kejahatan sudah merupakan kejahatan. Sedangka Mala in prohibita, adalah suatu perbuatan manusia yang diklasifikasikan sebagai kejahatan apabila telah dirumuskan sebagai kejahatan dalam Undang-undang. Siapakah sebenarnya penjahat itu. Apakah cukup mereka yang dinyatakan melakukan perbuatan yang dilarang dan diberi sanksi hukum yang tercantum dalam pasal undang-undang disebut sebagai penjahat? Dalam KUH-Pidana (kita) tidak ada satu pasal pun yang mengatakan bahwa penjahat adalah...,dan KUH-Pidana kita tidak menyebutkan siapakah orangnya yang menyandang gelar penjahat. Akan tetapi mereka hanya dicap sebagai penjahat dengan sebutan “barang siapa” (Yesmil Anwar.), tentunya penjahat itu merupakan label atau stigma dari undang-undang.
B. Saran dan Kritik
Kami sekelompok menyadari bahwa makalah yang kami buat ini jauh dari kata sempurna,oleh karena itu saran dan kritik dari para pembaca memungkinkan agar makalah kami dapat lebih sempurna.
Kamis, 14 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
kepanjangan mas
BalasHapuskok nga pake foot note?
BalasHapuskok nga pake foot note?
BalasHapus